ChairilAnwar - Puisi dan Biografi | Chairil Anwar ialah seorang tokoh penyair legendaris Indonesia yang dikenal juga sebagai "Si Binatang Jalang". Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati
Aku mau hidup seribu tahun lagi", tulis Chairil Anwar dalam sajak "Aku" atau "Semangat" pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, dimakamkan di Karet, yang disebutnya sebagai "daerahku y.a.d." dalam "Yang Terampas dan Yang Putus" — sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada tahun 1949. Sejak itu, sajak
PuisiChairil Anwar Doa dan Maknanya yang Menyentuh Sekali. MODUL 6. Parafrase Puisi Diponegoro Karya Chairil Anwar. Puisi Cita Citaku Karya Chairil Anwar - Pantun Cinta. Kematian Chairil Anwar dan Warisan-Warisannya. Puisi Tema Perjuangan Karya Chairil Anwar, Spesial HUT Kemerdekaan RI - Sudut Kerlip - blog, Informasi Terkini dan Terbaru
Puisijuga mampu memberikan manfaat pada pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya. puisi mengajak pembacanya untuk bersikap kritis menghadapi dunia dan segala macam warna-warni hidup, termasuk kematian. Subagio Sastrowardoyo dan Chairil Anwar beberapa dari penyair yang mengangkat tema "kematian" dalam puisinya.
DeruCampur Debu (1949) Deru Campur Debu pertama diterbitkan di tahun kematian Chairil Anwar pada tahun 1949. Kemudian puisi-puisi ini diterbitkan kembali dan dilengkapi dengan ilustrasi oleh Oesman Effendi tahun 1958. Kulit di sebelah merupakan edisi 1958. Chairil Anwar.
persamaan keadaan alam indonesia dengan malaysia adalah. Gambar Saya tidak pernah menyangka bahwa puisi pertama dan terakhir Chairil Anwar berkisah tentang kematian. Agaknya dia sengaja. Seolah kematian sudah menjadi teman akrab. Atau barangkali Tuhan memang menakdirkan kematian’ di atas hidup Chairil. Umur 20 tahun ia menghadapi kenyaaan pahit. Oktober 1942, malaikat maut begitu kejam merenggut nyawa nenek tercinta. Chairil murung. Berhari-hari ia dirundung kesedihan. Neneknya, Mak Tupin memang menjadi sosok penting di mata Chairil. Dia tulus merawat Chairil waktu masih kecil. Tidak hanya itu, saat orang tua sedang bertikai, Mak Tupin-lah yang menjadi penengah dan menyejukkan kembali kondisi keluarga. Maka wajar jika dia merasa terpukul dengan kepergian Mak Tupin. Perihal kematian sang nenek, Chairil meluapkan segala perasaannya ke dalam bentuk frasa. Hingga terciptalah puisi “Nisan”, sebagai gambaran suasana batin Chairil setelah kehilangan sang nenek. Terlepas dari itu, “Nisan” menjadi puisi pertama yang mengawali karirnya sebagai penyair Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertakhta Begitu dalam seorang Chairil meresapi makna kematian. Padahal saat itu dia masih terbilang muda, namun kepedihan sudah melekat dalam dirinya. Kepergian neneknya menambah cambukan bagi Chairil. Sebelumya, orang tuanya telah bercerai. Chairil ikut ibunya dan pindah dari Medan ke Batavia pada tahun 1942. Penuh Vitalitas Saya belum mampu seperti Arif Budiman yang bisa menghayati secara mendalam puisi-puisi Chairil dengan penuh kesadaran. Sehingga ia berhasil menyelami kehidupan Chairil dan menghasilkan buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Barangkali ini masalah keterbatasan wawasan kesusasteraan saya. Tetapi lewat buku Aku karya Sumandjaya, Ini Kali Tidak Ada yang Mencari Cinta karya Sirgus Susanto, serta referensi lain tentang biografi Chairil, saya tahu bahwa hidup Chairil penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan. Setelah kepergian nenek, hidupnya tak tentu arah. Hari-hari yang dijalani amat semrawut. Ia semakin bohemian mencuri buku-buku di toko, datang ke tempat-tempat pelacuran, serta mabuk dan menggelandang di jalanan. Bahkan ia sendiri mengakui keliarannya dalam puisi “Aku” Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya yang terbuang Meski demikian, ia mempunyai vitalitas yang tinggi sebagai seorang penyair. Ia berbeda jalan dengan para pendahulunya seperti Amir Hamzah, Sultan Takdir, Armine pane, serta sastrawan Pujangga Baru lainnya yang dikendalikan Jepang. Saat menduduki Indonesia, Jepang mendirikan pusat kebudayaan dan mengendalikan para seniman untuk mendukung Perang Dunia II. Chairil mengecam keras tindakan Pujangga Baru. Dalam esai “Hoppla”, ia berani mengatakan bahwa Pujangga Baru tidak memberikan perubahan apa-apa dan masih setengah-setengah dalam menciptakan karya seni. Tindakan Chairil ini mendapatkan perlawanan balik. Ia pernah ditangkap oleh ospir Jepang. Tidak hanya itu, karya-karya dan keberadaannya juga tidak dihargai para sastrawan Pujangga Baru. Chairil sakit hati. Namun ia terus berjalan memperjuangkan ide-idenya dengan semangat Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang dan menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih dan peri Memilih Menderita’ Chairil menjalani hari-hari dengan penuh kesunyian. Ia merasa asing dengan kehidupan sekitarnya. Ia mempunyai idealisme sendiri kebebasan dan tidak mau berada di bawah kendali orang lain. Inilah jalan hidup “Tak Sepadan” yang ia pilih, dan ia siap menerima segala konsekuensinya. Aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbuka Ahasveros adalah seorang Yahudi dalam cerita Injil yang menolak Yesus datang ke rumahnya. Oleh Tuhan kemudian orang ini dikutuk untuk menjadi pengembara abadi, tidak pernah punya tempat tinggal seumur hidupnya. Chairil menganggap dirinya bernasib sama dengan Ahasveros. Hdupnya tak tentu arah. Tetapi inilah jalan yang menurutnya harus diperjuangkan. Pernah ia bekerja sebagai editor suatu majalah bersama Jassin. Karena bekerja untuk lembaga, maka mau tidak mau ia harus mematuhi kebijakan yang berlaku. Chairil harus bangun pagi-pagi, memakai pakaian rapi, berangkat ke kantor redaksi, dan bekerja di bawah tekanan deadline. Pekerjaan itu ia lakukan agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk menghidupi istri dan anaknya. Kerena hasil uang dari honor pusi tidak akan cukup membiayai hidupnya. Mengingat, kata Goenawan Mohamad, penyair adalah pekerjaan yang tidak jelas, tidak seperti dokter, guru, atau wartawan. Namun menjadi seorang editor tidak nyaman baginya. Itu bukanlah Chairil. Chairil sesungguhnya adalah seorang bohemian yang liar, bebas, tidak bisa dikekang, dan menabrak tatanan yang ada. Sebagaimana kata Sartre, “Manusia dihukum untuk merdeka”. Maka ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu. Ia kembali ke kehidupan lama meskipun dalam keadaan kere. Inilah pilihan Chairil. Chairil kembali melakukan rutinitas di luar menyair –membaca, berdiskusi, menulis, dan menerjemahkan- yang barangkali bisa dikatakan negatif’. Ia datang ke tempat pelacuran, minum alkohol di jalanan, mengunjungi rumah teman-teman sesama seniman, berjalan tak tahu arah tujuan, serta menyendiri dari keramaian. Ia lebih memilih menderita’ sebagaimana adanya. Ia rela menanggung risiko dari keputusannya itu. Saya meminjam ungkapan Arif Budiman dalam buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, “Ini artinya kesunyian. Ini artinya kesepian. Ini artinya penderitaan.” Pasrah dengan Nasib Apakah Chairil bahagia dengan cara hidup yang seperti ini? Entah! saya tidak tahu. Kebahagiaan itu relatif. Seseorang mempunyai letak kebahagiaannya masing-masing. Misalkan saya Chairil, saya sendiri akan sulit memaknai kebahagiaan. Saya tidak bisa bertanya seperti Goenawan Mohamad dalam pusi “Dingin Tak Tercatat” Tuhan, kenapa kita bisa bahagia? Barangkali inilah nasib hidup Chairil Anwar. Tuhan telah menakdirkannya. Ia tampaknya menerima semua ini dengan lapang dada. Sebagaimana dia pernah menulis Bukan maksudku mau berbagi nasib Nasib adalah kesunyian masing-masing Kendati demikian, dengan jalan hidup yang tidak jelas’, saya menduga bahwa semua itu ia lakukan untuk mencai tahu makna kehidupan dengan menghidupkan puisi. Kecintaannya terhadap seni dan sastra barangkali membuatnya menjadi seperti ini, agar bisa menyelami dan mendalami kondisi sosial yang tercermin dalam karyanya. Setelah berhenti menjadi editor, pendapatan Chairil tidak cukup banyak. Bahkan ia kesulitan dalam menghidupi keluarganya. Kondisi itu tentu membuat istrinya, Hapsah, berpikir-pikir untuk mempertahankan lelaki itu. Maka Chairil menyetujui permintaan Hapsah untuk “Bercerai”. Dia pun menerima dengan lapang dada Kita musti bercerai Biar surya kan menembus oleh malam di perisai Dua benua bakal bentur-membentur Merah kesumba jadi putih kapur Selanjutnya Chairil mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada Hapsah dan anaknya, Evawani Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal Selamat tinggal Mendekati Ajal Setelah bercerai, kehidupan Chairil tambah semrawut. Sejumlah penyakit menggerogoti tubuhnya. Kondisi fisiknya pun semakin melemah. Ia tampak lebih menderita dari sebelum-sebelumnya. Dalam keadaan ini, Chairil tersadar bahwa ia harus mendekat kepada Tuhan. Bagaimana pun juga, ia tetap mengakui bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya. Ia lemah, tak berdaya, dan ingin mengadu kepada Tuhan. Tak henti-hentinya ia melantunkan “Doa” Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling Setelah mendekati’ Tuhan, Chairil ingin masuk ke dalam “Sorga”. Tetapi ia sadar bahwa untuk menggapainya tidaklah mudah. aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi-Muhamadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku nekat mencemooh Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Situasi tersebut tampaknya menjadi tanda-tanda bahwa Chairil Anwar tidak akan hidup lama lagi. Saya pernah mendengar guru saya berkata, “Seseorang yang tiba-tiba mendekat ke Tuhan, kemungkinan pula ia semakin mendekati ajalnya”. Dalam hal ini memang banyak peristiwa yang terjadi di masyarakat. Misalnya orang mendadak alim dan rajin beribadah. Tahu-tahu, beberapa hari kemudian orang itu meninggal dunia. Tampaknya Chairil juga demikian. Apalagi, ia sering sakit-sakitan, kondisi tubuhnya semakin melemah. Wajahnya pucat dan ia sering mual-mual. Untuk bangun dari tempat tidur saja ia kesulitan. Sakit yang menggerogoti tubuh Chairil tidak kunjung hilang. Bahkan semakin parah seiring bertambahnya waktu. Virus menyebar ke mana-mana. Tetapi ia tidak punya banyak uang untuk membeli obat. Meramal Kematian Chairil tidak punya apa-apa. Hidupnya hanya menumpang di rumah teman. Untung teman senimannya mau menerima Chairil dan bersedia merawatnya saat sakit. Penyair bohemian itu tampaknya sudah menyadari akan datangnya kematian. Dia sebenarnya punya vitalitas tinggi, namun takdir tidak bisa ditolak, bukan? Begitulah nasib yang mungkin ia harus terima, begitu kejam tanpa memandang waktu. Malam yang berwangi mimpi, berlucur debu Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu Chairil yang dalam hidupnya tidak pernah mau mengalah, sepertinya saat ini harus mengalah dengan nasib. Ia hampir mencapai titik terakhirnya. Namun sebelum itu, ia berhasil menulis dua puisi terakhir. Keduanya sama-sama berbicara tentang kematian. Pertama, puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”. Dalam puisi ini, Chairil seolah meramal kematiannya sendiri. Ia bahkan sudah berpesan jika nanti akan dimakamkan di Karet, daerahku Jakarta Pusat. di Karet, di Karet daerahku sampai juga deru angin aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku Sejumlah kritukus menafsirkan adalah yang akan datang. Maksudnya, Chairil akan pindah dari dunia ini ke dunia yang lain. Selain itu, dalam puisi ini, Chairil menyatakan bahwa dirinya harus berbenah, berkemas, untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Ia melepaskan segala kenangan. Cerita yang pernah ia jalani akan berlalu dan tidak bisa ia bawa pergi. Ia benar-benar telah kalah dan menyerah terhadap nasib. Ia tidak kuat menghadapi serangan berbagai penyakit seperti TBC, tifus, gangguan usus kronis. Puisi terakhirnya, "Derai-derai Cemara” menjadi tanda bahwa hidup telah berhasil mengalahkannya. Hidup hanya menunda kekalahan Tambah terasing dari cinta sekolah rendah Dan tahu, ada yang tak sempat diucapkan Sebelum akhirnya kita menyerah Ketika menulis puisi itu, Chairil tampaknya sudah mengerti kalau takdir akan segera menjemput. Penyair itu seolah bisa menentukan kisah hidupnya sendiri. Seperti kata Agus Noor dalam puisi “Aku Masih Punya Puisi” Penyair tak hanya menulis puisi, ia menulis takdirnya sendiri Dan ramalan Chairil ternyata benar. Tepat 28 April 1949 ia menutup mata untuk selamanya dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat, sesuai permintaannya. Sayang sekali, padahal waktu itu ia berada di puncak karir. Ia menjadi pembaharu bahasa dan sastra Indonesia. Rendra mengatakan bahwa karya-karya Chairil telah mampu menginspirasi para sastrawan sezaman dan sesudahnya. Paus Sastra Indonesia, Jassin, melabelinya sebagai pelopor Angkatan '45 yang telah berhasil meruntuhkan istana Pujangga Baru. Ada satu hal yang membuat saya prihatin –boleh jadi Anda semua belum tahu. Bahwa Chairil meninggal dunia di usia yang terbilang masih muda, yaitu umur 27 tahun. Barangkali inilah yang membuat namanya besar. Di usia muda, Chairil sudah memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini, terkhusus dalam bidang bahasa dan sastra. Nama Chairil Anwar terdaftar dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta tahun 2006. Tetapi sayang, Chairil tidak mampu mewujudkan ambisinya untuk hidup seribu tahun lagi. Seperti yang pernah ia tulis, dua larik terakhir dalam puisi “Aku” Dan aku akan lebih tak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Meskipun Chairil gagal hidup seribu tahun lagi, tetapi jasanya tak pernah terlupakan. Jiwa dan semangatnya akan terus hidup abadi lewat karya-karyanya yang masih dapat kita nikmati sampai saat ini, bahkan lebih dari seribu tahun lagi. [Mahfud]
Bagi kalian yang menggemari karya sastra, khususnya puisi, tentu sudah tahu mengenai sebuah perayaan yang amat bersejarah bagi dunia perpuisian Indonesia. Ya, perayaan itu kemudian dijadikan sebagai momentum bersejarah bagi dunia perpuisian Indonesia, yang dirayakan setiap tanggal 28 April. Lalu ada apa dengan tanggal 28 April dan apa kaitannya dengan peringatan perayaan tersebut? Setiap tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, adapun asal-usul mengapa tanggal 28 April dijadikan sebagai Hari Puisi Nasional ialah karena bertepatan dengan hari kematian penyair legendaris Indonesia, yakni Chairil Anwar pada 28 April 1949. Sedikit mengenai Chairil Anwar, ia merupakan seorang penyair yang menjadi pelopor Angkatan '45, sebuah angkatan baru bagi kesusastraan Indonesia. Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 22 Juli 1922, dan kemudian merantau ke Jakarta karena kondisi sosial ekonomi. Di Jakarta itulah Chairil Anwar hampir setiap saat bergaul dengan para seniman dan cendekiawan, seperti pelukis Affandi, Sudjojono, HB Jassin kritikus sastra, Rivai Apin, Asrul Sani, dan seorang intelektual bernama Sutan Sjahrir yang merupakan pamannya. Bisa dibilang, intelektualitas serta pandangan Chairil terhadap seni puisi berkembang dan terasah dengan sangat cepatnya ketika beliau tinggal di Jakarta, hal itu dibuktikan dengan lahirnya 70 karya puisi semasa hidupnya. Chairil Anwar kemudian dijadikan sebagai sebuah 'ikon' dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu dikarenakan hampir keseluruhan puisi-puisinya mengangkat realitas yang ada dengan menggunakan seni bahasa Indonesia yang melampaui zaman, mengingat pada zaman itu bahasa Indonesia belumlah semaju yang sekarang ini. Chairil Anwar semasa hidupnya banyak mempengaruhi kesusastraan Indonesia, karena kiprahnya yang banyak bergelut dengan kesusastraan Indonesia. Chairil Anwar pernah berkata, "tentu mereka akan mengakuiku sebagai seorang penyair besar tatkala aku sudah mati". Hal itu terbukti benar adanya, karena saat ini bisa dibilang tidak ada yang mengenali Chairil Anwar, meskipun pada zamannya namanyq selalu mendapat kritikan karena puisinya yang tak sesuai standar. Akan tetapi kali ini, siapa yang tak mengenal sosok Chairil Anwar? Setiap kali namanya disebut, pasti yang muncul dalam benak kita ialah seorang penyair besar dengan sebutan legendarisnya yakni Si Binatang Jalang. Pada 28 April 1949, Chairil Anwar menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit CBZ sekarang RS Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat. Chairil Anwar meninggal di usia 27 tahun, akibat penyakit TBC dan Lever. Sesaat sebelum kematiannya, Chairil Anwar sempat menulis sebuah sajak yang berjudul "Yang Terempas dan Yang Putus", di mana pada larik keempat bait pertama ia mengatakan bahwa sewaktu dirinya meninggal, ia ingin dikuburkan di TPU Karet Bivak. Itu tadi merupakan sedikit ulasan mengenai sejarah hari puisi nasional dan sejarah hidup Chairil Anwar yang menjadi acuan perpuisian Indonesia. Di akhir kalimat saya berharap agar kita semua semakin tertarik untuk mengapresiasi puisi. Sebab, puisi dan umumnya karya sastra merupakan manifestasi dari perkembangan zaman.
Beranda > Chairil Anwar > Puisi Kematian Chairil Anwar 27 20pm4000000pmSel, 20 Apr 2010 175402 +000054 2010 MENJEMPUT KEMATIAN –chairil anwar Lihatlah, kawan, mataku masih berkobar menyala-nyala walau tubuhku dihempas badai waktu tapi ruhku tetap menderu walau terik mentari menguras sumur keringatku tapi aku masih punya stok lautan semangat yang sampai kapan pun takkan habis tertelan suhu sehingga jiwaku takkan gersang dan beku walau hujan mengguyur tubuhku aku takkan menggigil karena kobaran semangat terus membakar tekadku tolong sampaikan pada dunia mataku masih belum lelah menatap dan menjemput mimpi-mimpiku dan akan kujemput kematian dengan senyuman dan karya dalam genggaman
Jakarta - Hari Puisi Nasional dirayakan setiap tanggal 28 April. Peringatan ini bertujuan untuk mengenang sosok penyair Indonesia, Chairil Anwar merupakan pelopor Angkatan 45, yakni periode sastra yang sarat menuntut keadilan rakyat, persoalan sosial dan politik. Dia berjasa dalam melakukan pembaharuan puisi hidupnya, Chairil Anwar telah melahirkan 96 karya, termasuk 70 puisi. Berkat dedikasinya itulah, ia dinobatkan sebagai pelopor Angkatan Singkat Chairil AnwarChairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia merupakan putra dari Teoloes bin Haji Manan yang bekerja sebagai ambtenar pada zaman Belanda dan menjadi Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. Ibu Chairil Anwar bernama Saleha atau biasa disapa Mak laman Ensiklopedia Kemdikbud RI, pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai pada tahun 1942 ketika ia menciptakan sebuah sajak yang berjudul "Nisan".Kecintaan menulisnya tersebut masih terjaga sampai akhir hayat. Pada 1949 menjelang wafat, ia bahkan menghasilkan enam buah sajak, yaitu "Mirat Muda", "Chairil Muda", "Buat Nyonya N", "Aku Berkisar Antara Mereka", "Yang Terhempas dan Yang Luput", "Derai-Derai Cemara", dan "Aku Berada Kembali".Chairil pun menutup usia pada 28 April 1949 yang kemudian diperingati sebagai Hari Puisi mengenang Chairil, berikut 25 puisi karya Chairil Anwar yang sarat Nisan Oktober 1942Untuk nenekandaBukan kematian benar menusuk kalbuKeridlaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu atas debudan duka maha tuan Penghidupan Desember 1942Lautan maha dalamMukul dentur selamaNguji tenaga pematang kitaMukul dentur selamaHingga hancur remuk redam Kurnia BahagiaKecil setumpukSia-sia dilindung, sia-sia Diponegoro Februari 1943Di masa pembangunan iniTuan hidup kembaliDan bara kagum menjadi apiDi depan sekali tuan menantiTak gentar. Lawan banyaknya seratus di kanan, keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda berartiSudah itu NegeriMenyediakan di atas menghambaBinasa di atas ditindaSungguhpun dalam ajal baru tercapaiJika hidup harus Tak Sepadan Februari 1943Aku kiraBeginilah nanti jadinyaKau kawin, beranak dan berbahagiaSedang aku mengembara serupa sumpahi ErosAku merangkaki dinding butaTak satu juga pintu baik juga kita padamiUnggunan api iniKarena kau tidak 'kan apa apaAku terpanggang tinggal Pelarian Februari 1943Tak tertahan lagiremang miang sengketa di siniDalam lariDihempaskannya pintu keras tak sepi seketikaDan paduan dua kelam ke malamTertawa-meringis malam menerimanyaIni batu baru tercampung dalam gelita"Mau apa? Rayu dan pelupa,Aku ada! Pilih saja!Bujuk dibeli?Atau sungai sunyi?Mari! Mari!Turut saja!"Tak kuasa ...terengkamIa dicengkam Sendiri Februari 1943Hidupnya tambah sepi, tambah hampaMalam apa lagiIa memekik ngeriDicekik kesunyian kamarnyaIa membenci. Dirinya dari segalaYang minta perempuan untuk kawannyaBahaya dari tiap sudut. Mendekat jugaDalam ketakutan-menanti ia menyebut satu namaTerkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?Ah! Lemah lesu ia tersedu Ibu! Ibu!7. Suara Malam Februari 1943Dunia badai dan topanManusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*Jadi ke manaUntuk damai dan reda? kali ini diam kaku sajaDengan ketenangan selama bersatuMengatasi suka dan dukaKekebalan terhadap debu dan tak sedarSeperti kapal pecah di dasar lautanJemu dipukul ombak dalam TiadaDan sekali akan menghadap Allah! Badanku terbakar - segala sudah melewati Pintu tertutup dengan Sia-sia Februari 1943Penghabisan kali itu kau datangMembawa karangan kembangMawar merah dan melati putihDarah dan tebarkan depankuSerta pandang yang memastikan itu kita sama termanguSaling bertanya Apakah ini?Cinta? Keduanya tak itu kita hampir Hatiku yang tak mau memberiMampus kau dikoyak koyak Ajakan Februari 1943IdaMenembus sudah cayaUdara tebal kabutKaca hitam lumutPecah pencar sekarangDi ruang legah lapangMari ria lagiTujuh belas tahun kembaliBersepeda sama gandenganKita jalani ini jalanRia bahgiaTak acuh apa-apaGembira girangBiar hujan datangKita mandi-basahkan diriTahu pasti sebentar kering Aku Maret 1943Kalau sampai waktuku'Ku mau tak seorang'kan merayuTidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi11. Taman Maret 1943Taman punya kita berduatak lebar luas, kecil sajasatu tak kehilangan lain kau dan aku cukuplahTaman kembangnya tak berpuluh warnaPadang rumputnya tak berbanding permadanihalus lembut dipijak kita bukan taman punya berduaKau kembang, aku kumbangaku kumbang, kau penuh surya taman kitatempat merenggut dari dunia dan 'nusia12. Hukum Maret 1943Saban sore ia lalu depan rumahkuDalam baju tebal abu-abuSeorang jerih menangkis jalannya - LesuPucat mukanya - LesuOrang menyebut satu nama jayaMengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanyaTapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenagaPekik di angkasa Perwira mudaPagi ini menyinar lain masaNanti, kau dinanti-dimengerti!13. Kesabaran Maret 1943Aku tak bisa tidurOrang ngomong, anjing nggonggongDunia jauh mengaburKelam mendinding batuDihantam suara bertalu-taluDi sebelahnya api dan abuAku hendak berbicaraSuaraku hilang, tenaga terbangSudah! tidak jadi apa-apa!Ini dunia enggan disapa, ambil perduliKeras membeku air kaliDan hidup bukan hidup lagiKuulangi yang dulu kembaliSambil bertutup telinga, berpicing mataMenunggu reda yang mesti tiba14. Lagu Biasa Maret 1943Di teras rumah makan kami kini berhadapanBaru berkenalan. Cuma berpandanganSungguhpun samudra jiwa sudah selam berselamMasih saja berpandanganDalam lakon pertamaOrkes meningkah dengan "Carmen" mengerling. Ia ketawaDan rumput kering terus menyalaIa berkata. Suaranya nyaring tinggiDarahku terhenti berlariKetika orkes memulai "Ave Maria"Kuseret ia ke Kenangan April 1943Untuk Karinah MoordjonoKadangDi antara jeriji itu itu sajaMereksmi memberi warnaBenda usang dilupaAh! tercebar rasanya diriMembubung tinggi atas kiniSejenakSaja. Halus rapuh ini jalinan kenangHancur hilang belum dipegangTerhentakKembali di itu itu sajaJiwa bertanya; Dari buahHidup kan banyakan jatuh ke tanah?Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia16. Rumahku April 1943Rumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampakKulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalanKemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke manaRumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranakRasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petangBiar berleleran kata manis maduJika menagih yang Bercerai Juni 1943Kita musti berceraiSebelum kicau murai kita minta pada malam iniBenar belum puas serah-menyerahDarah masih kita minta pada malam musti berceraiBiar surya 'kan menembus oleh malam di perisaiDua benua bakal kesumba jadi putih IDA, mau turut mengaburTidak samudra caya tempatmu Cerita Juni 1943Kepada DarmawidjayaDi pasar baru merekaLalu sudah kesalTak tahu apa dibuatJiwa satu teman lucuDalam hidup, dalam diselimuti tebalSama segala kadang pula dapatIni renggang terus Kawanku dan Aku Juni 1943Kepada BohangKami jalan sama. Sudah larutMenembus mengucur kapal-kapal di mengental-pekat. Aku berkata?Kawanku hanya rangka sajaKarena dera mengelucak bertanya jam berapa!Sudah larut sekaliHingga hilang segala maknaDan gerak tak punya Dendam Juli 1943Berdiri tersentakDari mimpi aku bengis dielakAku tegakBulan bersinar sedikit tak nampakTangan meraba ke bawah bantalkuKeris berkarat kugenggam di huluBulan bersinar sedikit tak nampakAku mencariMendadak mati kuhendak berbekas di jariAku mencariDiri tercerai dari hatiBulan bersinar sedikit tak tampak21. Merdeka Juli 1943Aku mau bebas dari segalaMerdekaJuga dari IdaPernahAku percaya pada sumpah dan cintaMenjadi sumsum dan darahSeharian kukunyah kumamahSedang meradangSegala kurenggutIkut bayangTapi kiniHidupku terlalu tenangSelama tidak antara badaiKalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapaiMengapa kalau beranjak dari siniKucoba dalam Isa November 1943Kepada nasrani sejatiItu TubuhMengucur darahMengucur darahRubuhPatahMendampar tanya aku salah?Kulihat Tubuh mengucur darahAku berkaca dalam darahTerbayang terang di mataMasa bertukar rupa ini segaraMengatup lukaAku bersukaItu TubuhMengucur darahMengucur darah23. Doa November 1943Kepada pemeluk teguhTuhankuDalam termanguAku masih menyebut namaMuBiar susah sungguh mengingatKau penuh seluruhCayaMu panas suciTinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhankuaku hilang bentukremukTuhanku aku mengembara di negeri asingTuhankudi pintuMu aku mengetukaku tidak bisa berpaling24. Dengan Mirat Januari 1946Kamar ini jadi sarang penghabisanDi malam yang hilang batasAku dan dia hanya menjengkauRakit hitam.'Kan terdamparkahAtau terserahPada putaran pitam?Matamu ungu membatuMasih berdekapankah kami atauMengikut juga bayangan itu?25. Sorga Januari 1946Buat Basuki ResobowoSeperti ibu + nenekku jugaTambah tujuh keturunan yang laluAku minta pula supaya sampai di sorgaYang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susuDan bertabur bidari beribuTapi ada suara menimbang dalam diriku,Nekat mencemooh Bisakah kiranyaBerkering dari kuyup laut biru,Gamitan dari tiap pelabuhan gimana?Lagi siapa bisa mengatakan pastiDi situ memang memang ada bidariSuaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?Demikian 25 puisi karya Chairil Anwar sosok di balik Hari Puisi Nasional. Ada puisi favoritmu, detikers? Simak Video "Lukman Sardi Terbawa Emosi Saat Bacakan Karya Puisi Chairil Anwar" [GambasVideo 20detik] nir/twu
Puisi Penghidupan Karya Chairil Anwar Penghidupan Lautan maha dalam Mukul dentur selama Nguji tenaga pematang kita Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia Kecil setumpuk Sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk. Desember, 1942Puisi PenghidupanKarya Chairil AnwarBiodata Chairil AnwarChairil Anwar lahir di Medan, pada tanggal 26 Juli Anwar meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949 pada usia 26 tahun.Chairil Anwar adalah salah satu Sastrawan Angkatan 45.
puisi kematian chairil anwar