Himmah Faiqotul (2017) Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din. Other thesis, IAIN SALATIGA. Huda, Nailul (2017) NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB QAMI’UTH THUGHYAN ‘ALA MANZHUMATI SYU’ABIL IMAN KARYA SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI (1813-1897 M / 1230-1314 H). KEMENTERIANAGAMA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 Buku Guru. D. Mahdi, M.S.I. Download Download PDF. Full PDF Package Download Full PDF Package. This Paper. A short summary of this paper. 37 Full PDFs related to this paper. Read Paper. Download Download PDF. Download Full PDF Package. Kitabmasyhur yang dikaji seperti Riyadus Sholihin, Targhib wa targhib, Kifayatul Atqiya’, Ihya’ Ulumuddin dan lainnya. Pada masa pandemi, Pengaosan Abah yai tetap berlangsung meskipun melewati streaming youtube karena tidak semua santri berada di pondok. Banyak santri yang masih belum bisa kembali karena adanya beberapa perlakuan PPKM. SyekhSyihabuddin Nasution mengutip pendapat dari Imam Al- Gazali dalam buku Ihya Ulumuddin. Hasil dari penelitian ini adalah pendidikan akhlak anak terhadap orang tua terbagi menjadi 10 (sepuluh) begitu juga pendidikan akhlak murid terhadap guru terbagi menjadi 10 (sepuluh). (sepuluh) begitu juga pendidikan akhlak murid terhadap guru AudioVideo Pengajian Kitab Ihya' 'Ulumuddin. 24.10.12. Syarah Ihya Ulumiddin 283-290. - Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang mujaddid, mujtahid mutlak dalam tasawuf dan mujtahid mazhab dalam fiqh. - Belajar 1 kitab, dapat 10 kitab. - Rasulullah pernah terkena sihir. - Lagi tinggi maqam, lagi ringkas amalan. - Percikan air & syaitan. persamaan keadaan alam indonesia dengan malaysia adalah. Bab Kelima Adab Aturan Guru dan Murid “Mengenai adab aturan yang semestinya dijalankan oleh seorang guru dan juga muridnya.”Adab Seorang MuridAdab atau aturan bagi seorang murid terdiri dari sepuluh jenis. Kewajiban pertama atas adab seorang murid adalah, tetap menjaga diri dari kebiasaan yang merendahkan akhlak serta perilaku tercela lainnya. Usaha untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan lainnya adalah melalui amalan jiwa. Yaitu, mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Adapun ilmu membersihkan kotoran jiwa yang tersembunyi mampu menuntun murid kepada Sang Maha Pencipta, Seperti shalat, kewajiban ini dikerjakan oleh organ lahiriah – demikian pula dengan ibadah jiwa lainnya – di mana sumber untuk memperoleh ilmu tersebut tidak dapat dicapai tanpa menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan sifat-sifat tercela yang mengitarinya. Dalam hal ini, Rasulullah pernah mengingatkan melalui sabdanyaبُنِيَ الدِّيْنُ عَلَى النِّظَافَةِ“Agama ini ditegakkan atas kesucian.” 1841.Oleh karena itu, kesucian lahir maupun batin sungguh sangat dibutuhkan oleh siapa saja yang menguku dirinya Mu’min. Sebagaimana Allah berfirmanإِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ.“Sesungguhnya orang-orang yang menyekutukan Allah musyrik itu najis tidak suci.” at-Taubah [9] 28.Dari sini dapat kita pahami, bahwa suci dari najis bukan hanya secara lahiriah saja harus kita perhatikan. Sebab, orang-orang musyrik juga menjaga pakaian dan kondisi fisik mereka agar tetap terlihat bersih. Namun, disebabkan jiwa mereka yang terlanjur kotor, maka seluruh fisik mereka dianggap najis kotor pula. Dalam aturan Islam, kebersihan batin menduduki posisi yang jauh lebih penting ketimbang kebersihan lahir. Oleh karena itu, Rasulullah pernah bersabdaلَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بِيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ.“Malaikat – rahmah, kasih sayang – tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya memelihara anjing.” 1852.Jiwa ibarat rumah, tempat tinggal bagi para malaikat, dan sekaligus tempat mereka bergerak memantau perilaku manusia. Sifat-sifat tercela seperti marah, nafsu, dendam, dengki, takabur, ujub dan sebagainya digambarkan seperti najis pada anjing. Jika najis bersemayam dalam jiwa seseorang, maka adakah lagi tempat bagi para malaikat itu? Allah menuangkan rahasia ilmu ke dalam jiwa manusia melalui para malaikat yang bertugas menjaganya. Dan, para malaikat itu tidak akan menanamkan rahasia ilmu kecuali ke dalam jiwa yang bersih, sanubari nan suci. Sebagaimana Allah telah berfirmanوَ مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ.“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dirinya kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, 1863 atau dengan mengutus seorang utusan malaikat, lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” asy-Syūrā [42] 51Wujud lahir dalam pandangan dunia ini mengalahkan makna batin yang tersembunyi. Sedangkan di akhirat kelak adalah sebaliknya, makna batinlah yang lebih berkuasa ketimbang aktivitas lahir ketika di alam dunia. Oleh karena itu, masing-masing hamba akan dibangkitkan sesuai dengan wujud yang sesungguhnya. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah riwayat “Manusia yang gemar melucuti kehormatan orang lain, maka di alam akhirat kelak ia akan dibangkitkan menyerupai seekor anjing yang menyalak. Sedangkan manusia yang ketika hidup di alam dunia suka mengambil harta milik orang lain melalui cara-cara yang tidak dibenarkan, maka kelak di alam akhirat akan dibangkitkan seperti seekor srigala yang sangat buas. Adapun bagi manusia yang ketika hidup di alam dunia suka menyombongkan diri di hadapan manusia lain, niscaya pada Hari Berbangkit nanti akan dihidupkan kembali seperti seekor harimau yang ganas. Dan, bagi siapa saja yang pada saat berada di alam dunia menghalalkan segala cara demi pangkat maupun jabatan, maka di alam akhirat kelak akan dibangkitkan seperti seekor singa yang mengaum-aum menanti mangsanya.” 1874.Ibnu Masud berkata “Ilmu batin tidak mungkin diraih hanya dengan melalui cara banyak mempelajarinya. Ilmu batin jiwa adalah cahaya Allah yang sengaja dipancarkan ke dalam dada manusia. Oleh karena itu, ilmu seseorang tidak dapat diukur dari banyaknya ia meriwayatkan hadis. Akan tetapi, sesungguhnya ilmu itu lebih merupakan cahaya yang terpancar dari relung qalbu pemiliknya.”Sebagian dari para pencari penempuh jalan kebenaran mengatakan “Kami pernah menuntut ilmu bukan dengan niatan karena Allah hingga ilmu itu menolak kami pelajari terasa berat, hingga kami tidak bisa menemukan hakikat yang terkandung di dalamnya. Dan yang kami dapatkan hanya sekedar cerita serta berbagai bentuk ungkapan semata.” Seorang ahli hikmah berkata “Ilmu adalah cerminan dari sikap takwa seorang hamba kepada Allah Sebab, Allah sendiri telah berfirman di dalam al-Qur’anإِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.“Sesungguhnya yang paling takut bertakwa kepada Allah di antara hamba-hambaKu adalah para ulama.” Fāthir [35] 28.Kewajiban kedua atas adab seorang murid adalah, mengurangi keterpautannya kepada urusan duniawi dan berusaha mencari tempat yang berbeda dari lingkungan keluarga serta kerabat dekatnya. Sebab, ilmu tidak mungkin diperoleh di lingkungan yang kurang atau tidak kondusif. Dan, hendaknya mengurangi berbagai ketergantungan yang ada pada qalbu, serta sebisa mungkin berhijrah, supaya qalbu bisa terfokus pada ilmu. Karena alasan itu, Allah berfirmanمَا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهِ.“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua jiwa dalam rongga dadanya.” al-Aḥzāb [33] 4.Dan, disebabkan alasan itu pula seorang ahli hikmah pernah berkata “Seluruh bagian ilmu tidak akan diberikan kepada kalian, sampai kalian mampu menundukkan seluruh jiwa kalian secara utuh kepadanya mengabdi untuk ilmu. Dengan kata lain, bahwa ilmu tidak akan memberimu walau sebagiannya saja, sampai engkau memberikan dirimu utuh kepadanya.”Kewajiban ketiga atas adab seorang murid adalah, bersikap tawadhu atau tidak meninggikan diri di hadapan gurunya. Seorang murid seharusnya mempercayakan segala urusan keilmuannya kepada sang guru, dan tunduk kepada segala aturan yang telah diberikan, seperti pasien yang patuh kepada nasihat dokter pribadinya jika ingin segera sembuh dari sakit yang tengah meriwayatkan sebuah kisah “Suatu ketika Zaid bin Tsabit melaksanakan shalat jenazah. Setelah selesai melaksanakan shalat tersebut, segera Ibnu Abbas mendekatkan tali kekang pada bighal 1885 miliknya untuk dikendarai. Menyaksikan sikap Ibnu Abbas, Zaid pun berkata “Tidak usah wahai anak paman Rasulullah.” Ibnu Abbas pun menyahut “Beginilah cara yang diperintahkan kepada kami untuk menghormati para ulama dan orang-orang mulia.” Mendapati ucapan itu, Zaid bin Tsabit pun segera memegang dan mencium telapak tangan Ibnu Abbas sambil mengatakan “Seperti inilah aturan adab yang diperintahkan kepada kami oleh Rasulullah untuk memperlakukan keluarga dekat beliau.” 1896.Sebagaimana Rasulullah juga pernah bersabdaلَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِ التَّمَلُّقُ إِلَّا فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ.“Bukan merupakan kebiasaan adab seorang Mu’min dengan merendahkan diri di hadapan orang lain; kecuali pada saat sedang menuntut ilmu belajar.” 1907.Ilmu dan hikmah merupakan harta milik kaum Mu’min yang hilang. Oleh karena itu, setiap kita harus bisa menemukannya di mana saja kita bisa meraihnya. Dan, ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang sudi membawakannya ke hadapan kita. Dikatakan dalam sebuah syair“Ilmu dan hikmah sama artinya dengan perjuangan,Yang dilakukan oleh pemuda berkeinginan air bah banjir yang tengah berjuang,Menemukan tempat menuju hilir.” Penyair lainnya mengatakan“Ilmu itu enggan menyambut pemuda yang sombong,Laksana banjir yang malas mencapai tempat yang tinggi.” Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan jiwa pencarinya. Sebagaimana Allah telah berfirmanإِنَّ فِيْ ذلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَ هُوَ شَهِيْدٌ.“Sesungguhnya hal demikian itu menjadi peringatan bagi siapa yang mempunyai qalbu atau mau menggunakan pendengarannya, sementara ia menjadi saksi.” Qāf [50] 37.Makna “mempunyai qalbu” adalah jiwa yang mantap dalam menerima ilmu dan qalbu yang siap untuk memahami ilmu. Apa saja yang disampaikan dan dianjurkan oleh guru, maka murid harus mengikutinya, dan mengesampingkan pendapatnya sendiri. Para murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diizinkan oleh gurunya; pada saat proses belajar mengajar tengah dilaksanakan. Dalam hal ini, ada contoh yang telah dikisahkan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu kisah tentang Nabi Musa dan Nabi Khidhir Nabi Khidhir berkata kepada Nabi Musaإِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا. وَ كَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا.“Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau sendiri belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” al-Kahfi [18] 67-68.Setelah itu, Nabi Khidhir memberikan satu persyaratan kepada Nabi Musa “Engkau tidak boleh bertanya tentang apa yang aku lakukan.” Sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتِّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا.“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.” al-Kahfi [18] 70.Namun, kemudian diungkap dalam al-Qur’an, pada penjelasan ayat berikutnya, bahwa persyaratan yang diajukan oleh Nabi Khidhir ternyata tidak dipatuhi oleh Nabi Musa. Sebab, Nabi Musa masih juga mengajukan pertanyaan kepada Nabi Khidhir. Dan, karena itu pula Nabi Khidhir memutuskan untuk berpisah dengan Nabi ditanyakan, mengapa kita diperintahkan untuk bertanya manakala kita tidak mengetahui atas sesuatu, sebagaimana difirmankan oleh Allah sendiri dalam al-Qur’anفَسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ.“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” an-Nahl [16] 43.Jawaban yang dapat diberikan atas pertanyaan tersebut adalah, diperolehkan seorang murid bertanya kepada gurunya jika pertanyaan yang tersedia diperintahkan oleh sang guru yang mengajar untuk dipertanyakan. Sebab, semua itu berkaitan erat dengan sampainya murid atas materi bahasan yang tengah diajarkan, atau dikhawatirkan sang murid belum sampai pada materi bahasan yang diajukan pertanyaan atasnya. Dan, ini akan menjadikan kendala tersendiri dalam penyerapan pelajaran yang diberikan kepada keempat atas adab seorang murid adalah, mula-mula berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk tidak mencari-cari perselisihan di antara sesama manusia. Karena, hal itu dapat menimbulkan kegelisahan dan penderitaan bagi jiwa. Diawali jiwa akan cenderung pada semua yang masuk melalui pendengaran, terlebih hal-hal yang dapat menimbulkan rasa malas dan enggan untuk berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagi para penuntut ilmu yang masih berada pada barisan pemula, tidak dianjurkan mengikuti perbuatan orang-orang yang memiliki sifat pemalas. Sampai-sampai, ada ungkapan yang mengatakan “Siapa yang memperhatikan kami guru pada tingkat permulaan al-bidāyah, maka ia adalah teman di dalam mencari kebenaran. Dan, siapa yang memperhatikan kami hanya pada saat-saat terakhir saja an-nihāyah, maka ia laksana seorang zindiq dalam usaha menuntut ilmu serta kebenaran.”Sudah seharusnya seorang murid tidak terlalu memberikan perhatian pada perbedaan antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi. Sebab, semua itu potensial mengotori jiwanya, dan ia bisa kehilangan gairah mempelajari ilmu. Jangan lupa, seorang murid harus senantiasa mengindahkan ucapan gurunya, dan tidak boleh mempermasalahkan berbagai madzhab atau sekte yang berkembang. Sebab, pada saat seseorang hanya mementingkan yang akhir saja ujung dari suatu amalan, niscaya anggota tubuh mereka terlatih untuk menjadi malas beraktivitas secara utuh, kecuali hanya melakukan hal-hal yang difardhukan saja. Mereka mengganti amalan-amalan sunah hanya dengan gerakan-gerakan qalbu, dan kesaksian yang cenderung melalaikan. Sedangkan murid yang lalai itu cenderung bermalas-malasan serta bersikap satu ungkapan yang menyatakan, bahwa tidak layak seorang tuna netra buta menjadi penunjuk jalan bagi para tuna netra lainnya. Demikianlah seharusnya adab seorang murid dalam bersikap. Murid tidak layak berperilaku seperti seorang guru. Oleh karena itu, diperbolehkan atas Nabi apa yang belum tentu diperbolehkan bagi umat beliau. Sebab, kekuatan sikap adil yang beliau miliki mendapatkan naungan dan bimbingan secara langsung dari sisi Allah seperti, izin atas diri Nabi menikahi istri lebih dari sembilan 1918 wanita.” 1929.Kewajiban kelima atas adab seorang murid adalah, seorang murid tidak boleh meninggalkan satu cabang ilmu pun. Ia harus berusaha menjadi ahli dalam berbagai cabang ilmu. Sebab, setiap cabang ilmu saling membantu dan sebagian cabang ilmu itu saling berhubungan erat. Jika seorang murid tidak mendapatkan sesuatu, maka acapkali sesuatu itu dimusuhinya. Dengan kata lain, setiap disiplin ilmu yang terpuji harus terus ditekuni, sampai terlihat dengan jelas tujuan atau hasilnya. Jika seseorang memiliki kesempatan yang memadai, maka ia dituntut untuk menyempurnakan di dalam mempelajarinya ilmu yang terpuji. Kalau tidak, maka ia pilih saja yang terpenting dari ilmu yang tersedia. Menjatuhkan pilihan pada yang paling penting itu dilakukan setelah mengamati keseluruhannya terlebih dahulu. Sebagaimana Allah berfirmanوَ إِذْ لَمْ يَهْتَدُوْا بِهِ فَسَيَقُوْلُوْنَ هذَا إِفْكٌ قَدِيْمٌ.“Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata “Ini adalah dusta yang lama.”” al-Ahqāf [46] 11.Seorang penyair mengatakan“Makanan manis yang dimasukkan ke mulut seorang pasienAkan terasa hambar baginya seperti tanpa rasa.”Kecerdasan seseorang menentukan hasil perolehan ilmu yang baik. Ilmu yang baik menuntun manusia kepada Allah atau menolong manusia untuk menjalani dengan baik kehidupannya di dunia. Setiap cabang ilmu telah mendapatkan kedudukannya yang tetap. Siapa saja yang mengawal ilmu, ia dapat diibaratkan seperti petugas berpakaian dinas yang selalu berjaga di daerah terdepan perbatasan. Setiap orang mendapatkan derajat tertentu di dalam pencariannya, dan setiap orang mendapatkan balasan di akhirat sesuai dengan derajat yang didapatnya pada saat mencari ilmu. Satu-satunya syarat yang dibutuhkan, yaitu objek pencarian ilmu haruslah diridhai oleh Allah keenam atas adab seorang murid adalah, ia tidak boleh mempelajari atau mendalami beberapa atau semua cabang ilmu pada suatu waktu secara bersamaan. Ia harus mempelajari lebih dahulu ilmu yang terpenting bagi kehidupannya, karena hidup tidak cukup untuk menguasai semua cabang ilmu. Seorang murid harus memfokuskan perhatian terhadap ilmu yang paling penting di antara ilmu-ilmu yang ada; yakni ilmu mengenai urusan akhirat. Yang kami maksudkan di sini ialah, bagian muāmalah dan mukāsyafah. Sebab, muāmalah itu akan menuju kepada mukāsyafah. Sedangkan mukāsyafah ialah bentuk pengenalan kepada Allah melalui cahaya yang disematkan oleh-Nya pada qalbu yang bersih, akibat proses ibadah serta mujāhadah. 19310 Di mana, hal itu akan berujung pada tingkatan derajat keimanan seseorang. Seperti pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq sebagaimana dinyatakan dalam sebuah riwayat “Seandainya keimanan penduduk bumi ini ditimbang dengan keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar ash-Shiddiq niscaya keimanan Abu Bakar masih lebih berat.” 19411.Hal itu lebih disebabkan adanya “rahasia” yang menetap di dalam jiwa Abu Bakar, bukan karena pengajuan bukti-bukti tentang jatidirinya atau berbagai argumentasi yang pernah ia sampaikan. Sangat mengherankan sikap seseorang yang telah mendengar sabda dari Rasulullah sebagaimana yang saya sebutkan di atas, namun ia justru cenderung untuk meremehkan ucapan “ala sufi” yang didengarnya. Ia bahkan menganggap, bahwa hal itu merupakan rangkaian kebatilan yang sengaja diembuskan oleh kalangan sufi. Berhati-hatilah dalam menyikapi masalah ini. Karena, hal tersebut dapat menyia-nyiakan sesuatu yang pokok utama dalam diri anda. Berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memahami rahasia yang terkandung dalam ilmu para ahli fikih dan mutakallimun penyampai kebenaran lainnya. Dan jangan melakukannya, kecuali karena anda ingin mencari kebenaran bahwa sesungguhnya ilmu yang sangat mulia dan paling puncak itu adalah mengenal Allah Inilah samudera yang dasarnya sangat sulit untuk dijangkau. Yang karenanya, derajat manusia termulia terletak pada diri para nabi kemudian para wali, dan diceritakan mengenai dua orang bijak yang sama-sama rajin beribadah, di mana terlihat pada tangan salah seorang dari mereka memegang secarik kain yang bertuliskan “Jika engkau berbuat baik dalam segala hal, maka janganlah engkau mengira bahwa engkau telah berbuat baik terhadap segala sesuatu, sebelum engkau mengenal Allah dan meyakini Dia-lah yang membuat sebab serta yang mewujudkan segala sesuatu itu.”Sedangkan di tangan orang bijak lainnya juga memegang secarik kain yang bertuliskan “Sebelum aku mengenal Allah setelah meminum seteguk air aku merasakan haus kembali. Dan setelah mengenal-Nya, aku mampu merasakan kesegaran tanpa harus meminum apa pun.”Sedikit ilmu, jika itu didapat melalui semangat dan gairah, maka in sya’ Allah akan menyempurnakan ilmu ukhrawi. Tujuan kita dengan pengetahuan ini bukan agar kepercayaan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Tujuan kita dengan pengetahuan ini adalah untuk mendapatkan cahaya yang memancar dari kepercayaan yang Allah tanamkan dalam jiwa kita. Jadi, ilmu yang tertinggi dan termulia adalah ilmu mengenal Allah, atau ma ketujuh atas adab seorang murid adalah, ia tidak boleh mendalami cabang ilmu baru, hingga ia menguasai dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Sebab, biasanya itu merupakan persyaratan utama bagi pengetahuan yang baru tersebut. Satu cabang ilmu umumnya menjadi pengantar dan penuntun bagi cabang berfirmanالَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُوْنَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ.“Orang-orang yang telah Kami Allah berikan al-Kitab al-Qur’an kepada mereka, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.” al-Baqarah [2] 121.Seorang murid hendaknya menuntut ilmu untuk tujuan menghiasi batin dengan sifat-sifat yang dapat mengantarkan hamba ke hadirat Allah dan berada pada posisi para malaikat yang selalu bersanding di dekat-Nya. Jadi, bukan untuk memperoleh kekuasaan, harta dan kedudukan duniawi. Dengan kata lain, seorang murid tidak akan mempelajari secara mendalam satu ilmu, sebelum ia mampu menguasai ilmu pendahuluannya. Sebagaimana Imam Ali pernah berkata “Kalian tidak akan mampu memahami kebenaran, sampai kalian menjadi orang murid yang menguasai kebenaran.”Kewajiban kedelapan atas adab seorang murid adalah, mengetahui sebab-sebab mengapa ilmu itu disebut sesuatu yang sangat mulia. Suatu ilmu dapat dikenali dari dua sisi, kemuliaan buah atau hasilnya, dan keotentikan serta kekuatan prinsip yang dimilikinya. Sebagai contoh, ilmu agama dan ilmu kedokteran. Buah dari ilmu agama adalah mendapatkan kehidupan yang kekal. Sedangkan buah dari ilmu kedokteran adalah memperoleh kehidupan sementara status sosial di dunia. Dari sudut pandang ini, ilmu agama lebih mulia ketimbang ilmu kedokteran. Sebab, hasilnya jauh lebih mulia dan lebih kekal. Contoh lainnya adalah, ilmu matematika dan ilmu astrologi. Ilmu matematika lebih mulia disebabkan dasar-dasarnya yang lebih otentik, argumentatif, dan sini tampak jelas, bahwa ilmu dengan buah berupa mengenal Allah para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, dan para Rasul-Nya merupakan ilmu yang sangat mulia. Demikian pula cabang-cabang dari ilmu kesembilan atas adab seorang murid adalah, mempercantik jiwa dan tindakan dengan kebajikan. Semua itu untuk tujuan menggapai kedekatan dengan Allah dan para malaikat-Nya, serta bersahabat dengan orang-orang yang dekat dengan Allah Tujuan hidup seorang murid seharusnya bukan untuk memperoleh kemilaunya urusan dunia, menumpuk harta dan kekayaan, berdebat dengan mereka yang jahil, serta memamerkan keangkuhan dan kesombongan. Seorang murid yang berusaha untuk memperoleh kedekatan dengan Allah seharusnya mencari ilmu yang dapat menolong dirinya mencapai tujuan dimaksud, yaitu ilmu tentang akhirat dan ilmu-ilmu yang menjadi penunjangnya. Sebagaimana Allah berfirmanيَرْفَعُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” al-Mujādilah [58] 11.Juga pada firman Allah دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللهِ.“[Kedudukan] mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.” Āli Imrān [3] 163.Dengan kata lain, derajat orang beriman itu bertingkat-tingkat dalam pandangan Allah Sebagian lebih rendah, dan sebagian lainnya lebih tinggi. Derajat tertinggi atas keimanan seorang hamba dimiliki oleh para Nabi, kemudian para wali, lalu para ulama yang mengamalkan ilmunya dalam kebenaran, dan kemudian orang-orang shalih yang mengikuti mereka para ulama yang mengamalkan ilmunya.Allah berfirmanفَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ.“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan siapa saja yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.” az-Zalzalah [99] 7-8.Jadi, seorang murid yang menuntut ilmu dengan tujuan mengharapkan kemuliaan diri dan sekaligus mengharapkan keridhaan Allah niscaya ilmu yang akan didapat akan berguna bagi kehidupannya di alam dunia, dan sekaligus meninggikan derajatnya dalam pandangan Allah kesepuluh atas adab seorang murid adalah, harus tetap memusatkan perhatian pada tujuan utama menuntut ilmu. Bukan demi kekuasaan dan wewenang semata. Di samping untuk tujuan menikmati anugerah kehidupan di alam dunia ini, yang terpenting di atas kesemuanya itu untuk tujuan kebahagiaan negeri akhirat yang lebih kekal dan abadi. Dunia adalah tempat tinggal kita yang sementara. Tubuh menjadi kendaraan menuju tujuan, sedangkan amal menjadi jalan menuju tujuan dimaksud, yaitu menggapai keridhaan Allah dan bukan selain Dia. Pada Allah-lah semua kenikmatan dan kebahagiaan bermuara. Karena itu, berikanlah perhatian yang lebih besar terhadap ilmu-ilmu yang mampu menuntun kita kepada tujuan akhir dari kehidupan karena itu, jenis ilmu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, ilmu yang dapat kita ibaratkan seperti membeli barang untuk bekal dalam perjalanan. Yang dimaksud dalam jenis ini antara lain, adalah; ilmu kedokteran, hukum fikih, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia di alam dunia. Kedua, ilmu untuk menempuh perjalanan menghadapi rintangan yang sangat berat, sekaligus cara mengtasi rintangan-rintangan dan gangguan-gangguan di sekitarnya. Ilmu jenis ini mampu membersihkan jiwa pemiliknya dari perilaku jahat, dan sanggup membawanya ke tempat tertinggi yang tidak dapat dicapai manusia; kecuali mereka yang mendapatkan karunia dari sisi Allah Ketiga, ilmu dapat kita ibaratkan seperti ilmu mengenai perjalanan haji dengan semua syarat dan rukunnya. Yang dimaksudkan di sini adalah ilmu tentang Allah sifat-sifatNya, dan ilmu tentang para malaikat-Nya. Ilmu ini mustahil diraih, kecuali oleh orang-orang arif yang dekat dengan Allah Sementara mereka yang berderajat lebih rendah dari mereka pun akan memperoleh keselamatan. Sebagaimana Allah berfirmanفَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ. فَرَوْحٌ وَ رَيْحَانٌ وَ جَنَّةُ نَعِيْمٍ. وَ أَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ.“Adapun jika ia orang yang mati termasuk orang-orang yang didekatkan – kepada Allah – , maka ia memperoleh ketenteraman dan rezeki, serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu, karena engkau dari golongan kanan.” al-Wāqiah [56] 88-91.Inilah kebenaran pasti yang mereka pahami dan rasakan melalui perenungan, kontemplasi, musyāhadah penyaksian. Penglihatan yang ada di dalam musyāhadah jauh lebih jelas daripada penglihatan dengan mata lahiriah. Keyakinan mereka tentu lebih kuat setelah mereka menyaksikan sendiri. Sementara kebanyakan orang, beriman akan tetapi tanpa musyāhadah, dan tanpa melihat dengan mata batin mereka yang saya maksudkan di sini bukanlah fisik jantung yang terbuat dari daging, akan tetapi sesuatu yang mempunyai hakikat yang halus atau rahasia. Yaitu, sesuatu yang tidak dapat dipersepsi dengan indera tubuh. Ini adalah dzat spiritual yang langsung bersumber dari sisi Allah yang terkadang disebut dengan an-nafs jiwa, ruh, dan terkadang dinamai dengan qalbu jantung. Qalbu adalah wahana bagi hakikat spiritual untuk menyingkapkan selubung yang menyelimutinya. Sebab, jiwa rūh merupakan bagian dari ilmu yang bersifat wahyu mukāsyafah. Yakni, ilmu yang tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia semata, dan tidak boleh diperbincangkan; apalagi diperkenankan adalah membicarakan bahwa jiwa rūh adalah permata yang sangat berharga, dan sekaligus termasuk dalam alam ruh, bukan alam materi. Sebagaimana Allah berfirmanوَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ، قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ.“Dan, mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang rūh. Katakanlah “Ruh itu termasuk urusan Rabbku.” al-Isrā’ [17] 85.Hubungan rūh manusia dengan Allah lebih mulia daripada hubungan rūh manusia dengan segenap anggota tubuhnya sendiri. Kepunyaan Allah segenap makhluk dan rūh. Akan tetapi, yang terakhir ini rūh berderajat lebih mulia dibandingkan ciptaan Allah lainnya. Rūh-lah yang paling berharga, karena dapat memikul amanat Allah Rūh manusia lebih mulia daripada langit dan bumi, berikut segala isinya. Karena, makhluk-makhluk lain tidak mau menerima amanat disebabkan takut pada rūh. Rūh manusia berasal langsung dari sisi Allah dan akan kembali kepada-Nya. Rūh adalah dzat spiritual yang mengendalikan tubuh manusia menuju Allah sebagai diperbarui 20 November pada 12 Agustus Dari 4029 4,782Kali. BAB II ADAB MURID TERHADAP GURU DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN A. Ihya Ulumuddin Sebagai Karya Monumental Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111M lahir di kota Thuss dalam wilayah Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H/1058 M. Abu Hamid itu saudaranya Abdul Futuh, Ahmad bin Muhammad adalah putera seorang penenun di kota Thuss Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali dua z, kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, pekerjaan ayah ghazali adalah memintal benang wol, sedangkan al-Ghazali, dengan satu z, diambil dari kota Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali yang terakhir inilah yang banyak Dia adalah tokoh pemikir Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” Hujjatul Islam,”Hiasan Agama”, Zainuddin, “Samudra yang menghanyutkan”, Bahrun Mughriq dan Hal ini disebabkan pemikiran-pemikirannya yang sangat mendalam dan mempunyai dampak yang besar atas kehidupan intelektual dunia Islam. Selain itu beliau juga berusaha mengembalikan madzha– madzhab yang muncul pada masanya dimana mereka di pengaruhi oleh aliran Mu’tazilah dan filsafat Yunani untuk pada ajaran Islam yang murni di lapangan aqidah diajarkannya faham Asy’ari, sedang dilapangan akhlaq diperkuatnya ilmu 1 Yoesoef Sou’yb, Pemikiran Islam Merombak Dunia, Jakarta Madju, 1984, Poerwantana, Ahmadi, dan Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung Rosda, 1988, 3 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 4 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta Bumi Aksra, 1975, 2 14 Beliau keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga raja saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ayahnya adalah seorang muslim yang saleh, ia termasuk orang yang miskin dengan usahanya bertenun wol, namun ia termasuk orang yang mengikuti majlis para ulama dan pecinta Apabila ia mendengar uraian para ulama itu, maka ayah al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya memohon kepada Allah SWT. Kiranya ia dianugrahi seorang putra yang pandai dan Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah karunia atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih Ketika ayahnya meninggal, berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya seterusnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali kedua anak itu dididik dan di sekolahkan, setelah harta pustaka peninggalan ayahnya habis, mereka dinasehati agar meneruskan sekolah Menurut satu riwayat disebutkan, bahwa teman ayah al-Ghazali itu bernama Ahmad bin muhammad al-Razikani, seorang sufi besar. Dari guru tersebut al-Ghazali mempelajari fiqih, riwayat para wali dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, al-ghazali belajar menghafal syair-syair mahabbah cinta kepada Allah, al-Qur’an dan Dan pada masa itu juga. Al-Ghazali dan saudaranya berguru pada seorang ustad bernama Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga Imam 5 Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta Bumi aksar, 1991, hlm. 9 6 Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, Yogyakarta Pedoman Ilmu jaya, 1989, 7 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. H. Ismail Y’akub, Jkarta Faizan, 1994, hlm. 24 8 Zinuddin dkk, Op-cit, hlm. 7 9 H. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta PT Gravindo persada, 2001, hlm 81 10 Ruswan Thoyib, dan Darmuin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Konteporer, yogyakarta Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 84 15 Dialah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar pemikiran sufi pada dirinya setelah itu dia melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi di Jurjan dan dia belajar pada syhaik Abul Qosim bin Ismail bin Masadat al-Jurjani 404 477 H, seorang ulama dari madzhab Syafi’i dan ahli Hadits dan ahli Sastra, rumahnya tempat berkumpul dan berdiskusi oleh para sarjana di kota Kemudian melanjutkan lagi ke Nisyabur dengan gurunya yang bernama alJuwaini. Ia adalah seorang Imam Harauman yang ditunjuk sebagai guru hukum Islam pada Madrasah Nizamiyah di Bagdad yang didirikan oleh gubenur Nizam al-Mulk, yakni seorang negarawan dan tokoh pendidikan yang sekaligus sebagai pemprakarsa pendirian lembaga pendidikan madrasah. Dengan gurunya ini pula ia tinggal hingga imam Haraumain wafat, sebagaimana diungkapkan Gibb, dan Kramers “that he was aducated at Tus and at Naisabur, especially under al-Djuwaini, the Imam al-Huraimain, With whom he remained until the Imam’s death in 478 H/ 1085 Pada masa ini, disamping belajar al-Ghazali menjadi asiten Diantara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali pada Imam Haraimain adalah teologi, hukum Islam, fisafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmuilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pemikirannya di kemudian Imam al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang 11 M. Bahri Ghazali, O-pcit, hlm. 23 Yoesuf Su’yb,Op-Cit, hlm. 196 13 Gibb, dan Krames, Shoerter Encylopedia of Islam,London Luzac d ca, 1961, 12 hlm. 13 14 Hasan Asri, Nukilat Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan al-Ghazali, Yogyakarta P T Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 13 15 H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta logos, 1995, hlm 150 16 yang memiliki ilmu yang sangat luas “lautan dalam nan menggelamkan Bahrul Mughrib”. 16 Selama menjadi guru di sekolah Nizdamah di Bagdad ia dapat mengerjakan tugasnya dengan hasil yang sangat baik, selama di Bagdad ia mengajar hukum agama. Selain itu juga menuluis buku-buku kontroversial tentang bantahan-bantahan terhadap pemikiran-pemikiran golongan-golongan Bathiniyah, Ismailiyah, golongan Filsafat dan Aliran Bathiniyah aliran Hassyasyin, telah melakukan pembunuhan terhadap wasir besar Nizam Al-Mulk dan Sultan Malik Shah bin Alep Arselam pada tahun 485/1092. Trgedi itu mendorong al-Ghazali mendalami pokok-pkok pikiran aliran bathiniyah dan menjadi bahan baginya pada masa belakangan untuk mengecam aliran bathiniyah itu. 18 Al-Ghazali hidup pada akhir abad ke IV H, di mana pada abad tersebut berkembang para pemikir, muncul beberapa golongan, muncul perselisihan ma’rifat, jalan pemikiran para mufakkir yang berbeda-beda, banyaknya para mutakallimin di bidang aqaidah ushuluddin, berbagai mazhab agama dan munculnya perbedaan pada cara beribadah dan tujuannya. Dari sinilah al-Ghazali tertarik untuk menyelidiki pendapat dan pemikiran Munculnya perbedaan-perbedaan di atas, telah menyebabkan al-Ghazali mengalami keraguan di berbagai hal. Ketika gejolak keraguan al-Ghazali telah mencapai puncak, kesehatannya mulai terganggu sehingga tidak dapat memberikan kuliah karena tidak dapat berbicara, dan ini dideritanya selama enam bulan lamanya. Para tabib menasehatinya supaya melawat guna memperoleh 16 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Isalam, Op-Cit, hlm. 83 Ahmad Hanfi, Pengatar Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996, hlm. 135 18 Yoesoef Sou’yb, Op-cit, hlm. 170 19 Departemen Agama R. I., Ensiklopedi Islam di Indonesia, IAIN Jakarta Proyek Peningkatan sarana dan Prasarana, 1993, hlm. 306. 17 17 kesegaran jiwa kembali. Kewajiban mengajar pada perguruan tinggi Nizhamiyah itu dipindahkan nya ke saudaranya Abul FutuhnAhmad bin Dalam kegelapan dan keraguan tersebut, dalam posisi antara api uap dan cahaya yang tampil dari balik cakrawala, al-Ghazali berlindung kepada Allah untuk memohon pertolongan, mencari keimanan, mendampakan keyakinan dan kedamian, akhirnya doanyapun dikabulkan oleh Allah. Dia memperlihatkan kepada al-Ghazali rahasia yang memudahkan al-Ghazali untuk berpaling meninggalkan pangkat, harta, dan temannya. Al-Ghazali meninggalkan kota Bagdad dengan dalih untuk melaksanakan Ibadah Haji, agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya baik dari penguasa khalifah maupun sahabat dosen se-Universitasnya. Di Damaskus inilah ia mulamula melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, beiktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak, dan budi perkertinya, selalu berpikir tentang Allah SWT. Dari situ kemudian pergi ke Yerussalam. Di sinipun beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Maqdis. Kemudian sesudah itu, beliau pergi ke-Mesir dn seterusnya ke-Mekah dan ke-Madinah untuk menunaikan Ibadah Dalam pengasingan itu al-ghazali ber’itikad di sudut menara masjid AlMuwawi dengan memakai baju jelek. Disini Al-Ghazali mengurangi makan, minum, pergaulan dan mulai menyusun kitab “Ihya Ulumuddin”.22 Dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yarussalam, Hajzz dan Thus, dan yang berisi paduan yang indah antara 20 Yoesoef Sou’yb, Op-Cit, hlm., 171. Al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali; sebuah Otobiografi Intelektual; Khudori Saleh, Bandung Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 59 22 Thaha Abd Al-Baqi Surur, Alam Pemikiran Al-Ghazali, Penj LPMI, Solo CV Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 40 21 18 figih, tasawuf, dan filsafat, bukan saja terkenal dikalangan kaum muslim, tetapi juga dikalangan dunia barat dan luar Islam. Kitab Ihya’ Ulumuddin ini merupakan kitab yang paling banyak membahas tentang etika, dan menjelaskan dengan tegas pentingnya seorang syaih atau “pembimbing moral” sebagai figur Kitab Ihya Ulumuddin itu, oleh al-Ghazali dibagi menjadi empat jilid, di mana masing-masing jilid itu terdiri dari beberapa bab. Adapun empat itu adalah sebagai berikut Jilid pertama tentang peribadatan rubu’ ibadah yang terdiri dari sepuluh bab yaitu Kitab Ilmu, kitab kaidah-kaidah iktikad aqodah, kitab rahasia hikma bersuci, kitab hikmah sholat, kitab hikmah zakat, kitab hikmah shiam, kitab hikmah haji, kitab adab kesopanan membaca Al-Qur’an, kitab dzikir dan do’a, dan kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya. Jilid kedua tentang pekerjaan sehari-hari rubu’ adat kebiasaan yang terdiri dari sepeluh bab yaitu Kitab adab makan, kitab adab perkawinan, kitab hukum berusaha bekerja, kitab halal dan haram, kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia, kitab uzlah mengasingkan diri, kitab adab musafir berjalan jauh, kitab mendengar dan merasa, kitab amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kitab adab kehidupan dan budi pekerti akhlaq kenabian. Jilid ketiga tentang perbuatan yang membinasakan rubu’ al-muhlikat yang terdiri dari sepuluh bab yaitu Kitab menguraikan keajaiban hati, kitab latihan diri jiwa, kitab hawa nafsu perut dan kemaluan, kitab bahaya lidah, kitab bahaya marah, dengki dan dendam, kitab tercelany dunia, kitab tercelanya harta 23 Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, penj Hamzah, Bandung Mizan, 2002, hlm. 30 19 dan kikir, kitab tercelanya sifat mencari kemegahan dan mencari muka, kitab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri, dan kitab tercelanya sifat tertipu dengan kesenangan dunia. Jilid keempat tentang perbuatan yang menyelamatkan rubu’ al-munjiyat yang terdiri dari sepuluh bab yaitu Kitab taubat, kitab sabar dan syukur, kitab fakir dan zuhud, kitab tauhid dan tawakal, kitab cinta kasih, rindu, jihad hati dan rela, kitab niat, benar dan ikhlas, kitab muraqabah dan menghitung amalan, kitab memikirkan hal diri tafakkur, dan kitab ingat Adapun dalam kitab ilmu ini terdiri dari tujuh bab yaitu 1. Tentang kelebihan ilmu, mengajar dan belajar. 2. Tentang ilmu fardu a’in dan yang fardu kifayah, menerangkan batas ilmu fiqih, memperkatakan ilmu agama, penjelasan ilmu dunia dan ilmu akhirat. 3. Tentang apa, yang dihitung oleh orang awwam, termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada hal tidak. Juga menerangkan jenis ilmu yang tercela dan kadarnya 4. Tentang bahaya perdebatan dan menyebabkan kesibukan manusia dengan berselisih dan bertengkar 5. Tentang adab pelajar dan pengajar 6. Tentang bahya ilmu, ulama dan tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat 7. Tentang akal, kelebihan akal, bahagia-bahagia akal dan hadits-hadits yang membicarakan tentang akal. Pada bab kelima yaitu adab pelajar dan pengajar, dijelaskan beberapa tugas yang harus dilaksanakannya demi keberhasilan dalam belaja, adapun keretria yang harus dimiliki oleh pelajar ini ada sepuluh yaitu 1. Mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. 24 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddiin Juz I, Indonesia Toha Putra, hlm. 27 20 2. Seorang pelajar hendaknya mengurangkan hubungan dengan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halamannya. 3. Seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunga. 4. Seorang pelajar pada tingkat permulaan, hendahnya menjaga diri dari pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan. 5. Seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaran pun dari ilmu pengetahuan yang terpuji. 6. Seorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan serentak. 7. Tidak mencempelungkan diri kedalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakannya. 8. Seorang pelajatr hendaknya mengetahui sebab untuk dapat mengethui ilmu pengetahuan tersebut. 9. Tujuan belajar adalah untuk menghiasi kebatinannya dan mencantikkan sifat keutamaannya. 10. Harus mengetahuinya hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya. Dan al-Ghazali kembali ketanah kelahirannya thuss, disana ia membangun sekolah untuk para fuqoha’ dan sebuah biara untuk para mutasawifin. Dan di kota Thuss itu beliau wafat pada tahun 505 H/1111 M, dalam usia lima puluh empat tahun. B. Al-Ghazali Perhatiannya terhadap Adab/Akhlak Al-Ghazali adalah seorang tokoh pendidikan, dan akhlak berada pada poros pemikiran al-Ghazali. Di mana al-Ghazali lebih menekankan nilai etis ketimbang nilai intlektual dari ilmu pengetahuan. Karena itu tidaklah 21 mengherankan kalau dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan dan Menurut pandangan al-Ghazali, akhlak bukanlah pengetahuan ma’rifat tentang baik dan jahat maupun kodrat qudrat untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan fi’il, yang baik dan buruk, malainkan kemampuan “Akhlah berarti suatu kemampuan jiwa, yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemampuan sedemikian, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik-yaitu amal yang terpuji menurut akal dan syariat, maka ini disebut akhlak yang baik. Jika amal-amal yang tercelahlah yang mucul dari keadaan kemantapan itu, maka itu dinamakan akhlak yang buruk”.27 Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik anak dengan memberi contoh, latihan dan pembiasaan driil kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga merupakan proses menuju Dari pengertian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali harus memenuhi dua syarat 1. Perbuatan ini harus konstan yaitu dilakukan berulang kali kontinyu dalm bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. 2. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud reflektif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran yakni bukan karena 25 yaitu kitab riyadhat al-nafs wa-tahadzib al-aklaq wa-mu’alajat amra’dh; bab tentang pembinanan jiwa, pembiana akhlak, dan [engobatan penyakit-penyakit hati, Hasan Asri, Nukilan, hlm. 85 26 Muhammad Abu Quasem, Etika Al-Ghazali ; Etika Majemuk di dalam Islam, Bandung ; Pustaka, 1997, hlm. 81 27 Al-Ghazali, Ihya ’Ulumuddin Jilid III, Indonesia Toha Putra, hlm 52 28 Zainuddin, Op-Cit, Hlm. 106 22 adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain atau pengaruhpengaruh dan bujukan yang indah dan Al-Ghazali menegaskan lebih konkrit bahwa induk dan pokok akhlak itu ada empat, yaitu hikmah, syaja’ah, iffah dan adil. Hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat mengetahui kebenaran dari kesalahan semua perbuatan ikhtiariyah perbuatan yang dilakukan dengan pilihan dan kemauan sendiri. Adil berarti keadaan dan kekuatan jiwa yang dapat menuntut dan mengendalikan amarah dan syahwat kearah hikmah. Syaja’ah yaitu keadan kekuatan amarah yang harus tunduk kepada akal, sedangkan iffah adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan, akal dan Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa akhlak menurut pandangan al-Ghazali, bukan perbuatan baik atau buruk dan kekuatan dan kekuasaan baik atau buruk, tetapi akhlak merupakan keadaan jiwa yang mampu mempersiapkan dan memunculkan tingkah laku yang baik. Akhlah menurut al-Ghazali, ini dapat dibagi menjadi dua yaitu akhlak baik dan buruk. Akhlak baik adalah perbuatan yang menurut dengan akal dan syra’, dan akhlak yang baik adalah akhlak tingkah laku yang dipegang oleh Rasulullah. Akal menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat memperoleh pengetahuan, atau tempat pengetahuan yang mengetahui. Jika ditinjau dari dzatnya, akal merupakan hakikat manusia yang dapat mengetahui dan mengenal dirinya sendiri serta hal-hal diluar dirinya, sedangkan ditinjau dari objeknya akal yaitu kebenaran-kebenaran atau ukuran-ukuran yang dapat mendapatkan Kalau standar akhlak adalah akal dan syara’, maka syara’ berfungsi 29 Ibid, Hlm. 104 Ihya’ III, Op-Cit, hlm. 53 31 Sid Basil, Al-Ghzali Mencari Ma’rifat, Terj. Ahmadie Thaha Jakarta Pustaka Panjimas, 1990, Hlm. 85 30 23 menunjukkan baik dan buruk secara mutlak. Oleh karena itu akhlak baik pasti direalisasikan dalam bentuk iman. Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan; “Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman. Dan keburukan akhlak itu adalah nifaq sifat orang munafik.32 Akhlak buruk adalah keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan jelek, sebagaimana diungkapkan oleh al-ghazali yang telah dikutip oleh Drs. Ruswan Thayib, dan Drs. Darmuin, “Aklak yang jahat adalah racun yang membunuh, membinasakan, memecahkan kepala memusingkan kepala, Perbuatan-perbuatan yang keji, perbuatan-perbuatan yang kotor yang nyata, kekejian menjauhkan dari sisi Tuhan semesta Alam dan memasukkan orang berakhlak demikian dalam kawasan syaitan.”33 yang hina yang yang Dari ungkapan al-Ghazali tersebut dapat dilihat bahwa akhlak yang jelek adalah perbuatan yang menyimpang akal dan jauh dari syara’, akhlak yang jelek atau keji merupakan penyakit jiwa. Jadi akhlak seseorang yang tercela ini dalam hatinya terkena penyakit, dan yang menyebabkan itu terjadi karena bibit syaitan yang ditanamkan dalam hati manusia. Sehingga dengan bibit itu manusia akan terseret dan terbujuk untuk mengikuti hawa nafsunya. Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah SWT kepada kedua orang tua. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebiasaan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dan kedua orang tuanya, 32 33 hlm. 67 Ruswan Thayib, dan Drs. Darmuin, Op-Cit, hlm. 90 24 gurunya serta pendidikannya ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dihabiskan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tua, walinya atau siapa saja yang yang bertanggung jawab atas Apabila anak dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan di akhirat. Kedua orang tuanya atau semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh pahalanya. Sebaliknya jika anak sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya, yakni sebagai mana halnya seorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikul kedua orang orang tua, pendidik yang bertangung jawab untuk memelihara dan mengasuh. 35 Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka persiapan dan pembinaan akhlaknya haruslah dilakukan sendiri mungkin sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti dirawat dan disusui oleh wanita Usia yang paling rawan pada prilaku anak adalah masa remaja, oleh karena itu al-Ghazali menyarankan untuk menjaga waktu-waktu senggang dengan kesibukan yang bermanfaat, sebagai pendidik berkewajiban menganjurkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, khususnya membaca al-Qur’an dan 34 Jamaluddin Al-Qosimi, Bimbingan Untuk Mecapai Tingkat Mukmin, Ringkasan Dari Ihya Uluuddin,Terj. Mohammad Abdi Rothomy, Bandung CV Diponegoro, 1983, hlm. 534 36 Hasan Asri, Op-Cit, hlm. 82 35 25 karangan-karangan agama, sehingga ia memperoleh bantuan untuk melewatkan waktu senggang. Adapun pemikiran al-ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak adalah sebagai berikut 1. Akhlak Terhadap Allah ‫ﻢ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋ ِﻈ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻙ ﹶﻟﻈﹸﻠ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﷲ ِﺍﻥﱠ ﺍﻟ‬ ِ ‫ﻙ ﺑِﺎ‬ ‫ﺸ ِﺮ‬  ‫ﺗ‬‫ ﹶﻻ‬‫ﻨﻲ‬‫ﺑ‬‫ ﻳﺎ‬‫ﻳ ِﻌﻈﹸﻪ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﺑِﻨ ِﻪ‬‫ﺎ ﹸﻥ ِﻻ‬‫ﻭِﺍ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﻟ ﹾﻘﻤ‬ 37 13 ‫ﺍﻟﻘﻤﺎﻥ‬ Dan ingatlah ketika luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku, janganlah mempersekutukan Allah, sesunguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar. QS Luqman 13 Ayat tersebut mengisaratkan bagaimana seharusnya para orang tua mendidik anaknya untuk mengesahkan penciptaannya dan menegak prinsip tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya, kemudian hendaklah anak diajarkan salat sehingga terbentuk manusia yang senantiasa kontak dengan pencipta. ‫ﻚ ِﺍﻥﱠ ﺫﻟِﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ﺎ‬‫ﺎ ﹶﺍﺻ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺻِﺒ‬  ‫ﺍ‬‫ﻨ ﹶﻜ ِﺮ ﻭ‬‫ﻋ ِﻦ ﺍﳌﹸ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﺍ‬‫ﻑ ﻭ‬ ِ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺮ ﺑِﺎ ﹶﳌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻠﻮ ﹶﺓ ﻭﹾﺃ‬‫ ﹶﺍِﻗ ِﻢ ﺍﻟﺼ‬‫ﻨﻲ‬‫ﺑ‬‫ﻳﺎ‬ 38 17 ‫ﻮ ِﺭ ﻟﻘﻤﺎﻥ‬ ‫ﺰ ِﻡ ﺍﻻﹸﻣ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫َ ِﻣ‬ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah . QS Luqman 17 Supaya anak mengetahui bagaimana caranya taat dan tidak menyekutukannya. Seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka 37 38 Soenarno, Al-qur’an danTerjemahnya, Semarang CV Asy-Syifa , 1992, hlm. 654 Op-Cit, hlm. 655 26 hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan sholat, juga mulai diperintah berpuasa beberapa hari dibulan Untuk membentuk jiwa keagamaan anak, meskipun anak yang belum mencapai tamyiz, anak bisa diperkenalkan aktivitas-aktivitas keagamaan seperti anak diajak pergi ke masjid, wudhu, bersahur dan buka puasa. Semua aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh setiap keluarga dalam kehidupan keseharian. Ibadah tersebut ditanamkan sejak pertumbuhannya. Sehingga ketika anak tumbuh dewasa, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hal-Nya, bersandar kepada-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Disamping itu, anak akan mendapatkan kesucian rohani, kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan perbuatan d dalam ibadahibadah 2. Akhlak Terhadap Orang Tua Orang tua merupakan orang yang telah bersusah payah menjaga, memelihara, dan mendidik kita, lantaran itu tidak patut dan wajib kita menjaga diri jangan sampai terunjuk satu perangai yang kurang baik atau terlanjur satu perkataan yang kurang manis terhadap ibu ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻭﹸﻗ ﹾﻞ ﹶﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ ﹸﺍﻑ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﺗﻘﹸ ﹾﻞ ﹶﻟ‬‫ﻼ‬ ‫ﺎ ﹶﻓ ﹶ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻭ ِﻛ ﹶ‬ ‫ﺎ ﹶﺍ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺮ ﹶﺍ‬ ‫ﺒ‬‫ﻙ ﺍﹾﻟ ِﻜ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻦ ِﻋ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺒﻠﹸ‬‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ِﺍﻣ‬ 42 32 ‫ﺎ ﺍﻻﺳﺮﺃ‬‫ﻳﻤ‬‫ﻮ ﹰﻻ ﹶﻛ ِﺮ‬ ‫ﹶﻗ‬ Kalau salah seorang dari pada mereka itu atau keduanya telah tua, maka janganlah engkau berkata perkataan menunjukkan kebencian 39 Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati; Menbentuk Akhlak Mulia ; Penj. Muhammad alBaqir, Bandung Karisma,2001, hlm. 110 40 Abdullah Nashihul Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta Pustaka Amani, 1995, 41 Kesopanan Tinggi, Bandung Diponegoro, 1993, hlm. 12 42 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op-Cit, hlm. 427 27 seperti “Ah” dan janganlah engkau hadapkan kepada mereka itu yang kasar, tetap hendaklah engkau berkata kepada mereka itu perkataan yang mulia. Bani Israil 23 Sebagai seorang anak yang saleh, apabila orang tua sedang memberi nasehat, maka hendaknya didengarkan dengan sebaik-baiknya, lekas dan cepatlah datang, jika mereka memanggil dengan penuh kesopanan dan rendah hati dihadapan keduanyaِ 43 24 ‫ ﺍﻻﺳﺮﺃ‬000000 ‫ﻤ ِﺔ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺡ ﺍﻟ ﹸّﺬﻝﱢ ِﻣ‬  ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﺾ ﹶﻟ‬  ‫ﺣ ِﻔ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ‬ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sanyang. Al-Isra’ ; 24 Al-Ghazali mengatakan hendaknya anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada orang tua, gurunya serta yang bertanggung jawab siapa saja yang lebih tua dari padanya, dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersendau gurau dihadapan 3. Akhlak Ketika Makan Hendaknya anak dibiasakan makan disertai niat agar mendapat kekuatan untuk taat dan beribadah kepada Allah SWT. Sebelum makan hendaknya diperintah untuk mencuci kedua tangannya, karena Rasulluh SAW. Sebelum makan beliau berwudhu untuk menghilangkan kefakiran dan berwudhu setelah makan untuk menghilangkan gangguan setan. Makanlah diawali dengan membaca basmalah dan menggunakan tangan yang kanan, awali dan diakhiri dengan memakan garam. Dan kecilkan suapan dan perbanguskan Dan perhaluslah kenyahan, makanlah dari arah 43 Ibid, Hlm. 428 Al-Ghazali, Op-Cit, hlm. 110 45 Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, Bandung Mizan, 1997, hlm. 126 44 28 pinggir-pinggir piring, tidak makan dari atasnya,46 janganlah mengulurkan tangan pada suapan yang lain sebelum menelan suapan pertama dan jangan mencela makanan. Makanlah makanan yang dekat letaknya, kecuali buah-buahan, janganlah meniup makanan yang panas, karena hal itu bersihkanlah sisa makan dijari-jejari dengan melumatinya, lalu membaca hamdalah, sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Allah SWT. 4. Akhlak Ketika Minum Sebelum minum periksalah tempat air gelas, kemudian membaca basmalah setelah itu mengucapkan hamdalah, minumlah seteguk, jangan mengumpulkan air di dalam mulud yang kemudian diminum sekaligus, janganlah bernafas di dalam gelas. 5. Akhlak Terhadap Lingkungan Apabila anda bertemu dengan kawan maupun musuhmu ucapkanlah salam terlebih dahulu dan hadapilah dengan wajah yang menunjukkan kegembiraan dan kerelaan serta penuh kesopanan dan ketengan, jangan sekali-kali menampakkan sikap angkuh, sombong dan merasa tinggi Jenguklah apabila ia sakit dengan membawa oleh-oleh kesukaannya, dan ucapkanlah selamat jika ia sukses meraih cita-citanya. 6. Akhlak Dalam Berpakaian Hendaklnya diajarkan kepadanya agar menyukai pakaian yang putihputih saja, bukan yang berwarna ataupun yang terbuat dari sutra, sebab kedua 46 Imam Al-Ghazali, Kaidah-kaidah Sufistik Keluar dari Kemelut Tipu Daya, Surabaya Risalah Gusti, 1997, hlm. 49-50 47 Op-Cit, hlm. 127 48 Jamaluddin Al-Qosimi, Op-Cit, Hlm. 387 29 jenis jenis pakain tersebut seperti itu hanya untuk perempuan atau yang berlagak kebanci-bancian, dan karennya, laki-laki tidak pantas mengenakannya. Keterangan seperti ini, hendaklnya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakan baju berwarna atau terbuat dari sutra, maka sebaiknya si ayah mengecamnya dan menengaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi Dan anak hendaknya diajarkan pula untuk tidak suka pada kemewahan yang mengakibatkan pada pemborosan. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazalai yang dikutib oleh Zainuddin, sebagai berikut Jangan digemari berhias yang tidak sepatutnys stsu apa saja yang menimbulkan keborosan. Jikalau ini dilakukan, pasti usia anak itu nantinya akan dihabiskan saja pada waktu besarnya, dan dengan demikian akan rusaklah jiwanya sepanjang masa dan tahan menderita, serta ingin berkecimpung dalam kenikmatan saja, sekalipun kehormatan dan haknya akan C. Pemikiran al-Ghazali tentang Adab Murid terhadap Guru Dalam proses pendidikan yang berlangsunng, tidak lepas dari interaction education hubungan antara murid dengan guru. Di mana seorang murid itu dalam menuntut ilmu bukan mencari lembaga tetapi mencari guru, mengapa? Karena seorang murid ini akan mengabdi kepada gurunya. Hubungan yang terjalin antara murid dengan guru selalu intim, sebagaimana murid menghormati gurunya seperti seorang ayah dan mematuhinya, bahkan dalam hal-hal pribadi yang tidak langsung berkaitan dengan pendidikannya secara formal. Hubungan yang terjalin antara murid dan gurunya ini, akan memberi pengaruh sikap dan kepribadian murid dalam kesehariannya, dan berhasil atau tidaknya dalam mencapai cita-cita yang akan dicapainya dan manfaat atau tidaknya ilmu yang diprolehnya selama belajar selama bersama syaihnya. Oleh 49 50 Mengobati Op-Cit, Hlm. 105 Zainuddin, Op-Cit, Hlm. 110-111 30 karena itu al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin nya, adab murid terhadap guru yang harus dimilikinya, supaya apa yang dicita-citakan oleh murid akan berhasil dengan baik, dan adab murid terhadap guru antara lain ‫ ﺍﻥ ﻻ ﻳﺘﻜﱪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻻ ﻳﺘﺄﻣﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻠﻢ‬.1 Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang Seorang murid hendaklah mendengarkan dengan baik semua nasehatnasehat gurunya dan mengindahkannya atau melaksanakan dalam kehidupan sehari yakni tindak tanduknya ketika dalam menuntut ilmu supaya ilmu itu mendekat tidak menjauh demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat . Alangkah baiknya seorang pelajar ini, mematuhi dan melaksanakan segala nasehat, perintah atau perkataan gurunya. Nasehat yang diberikannya bermanfaat bagi murid untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. ‫ﻓﻼ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻄﺎﻟﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﻜﱪ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﻭ ﻣﻦ ﺗﻜﱪﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﺍ ﻥ ﻳﺴﺘﻨﻜﻒ‬.2 ‫ﻋﻦ ﺍﻻﺳﺘﻔﺎﺩﺓ ﺇﻻﻣﻦ ﺍﳌﺮﻣﻮﻗﲔ ﺍﳌﺸﻬﻮﺭﻳﻦ‬ Tidaklah layak seorang pelajar menyombongkan terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali yang terkenal benar Dalam menuntut ilmu, janganlah memandang siapa yang menyampaikannya guru apakah ia terkenal atau tidak, karena ilmu pengetahuan itu bagaikan barang yang hilang dari tangan seorang mu’min, yang harus dipungut atau dicarinya dimana saja diperolehnya. Dan hendaklah mengucapkan rasa terima kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya. Sebagaimana ungkapkan syair sebagai berikut 51 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, Indonesia Toha Putra, hlm. 50 Loc-Cit 52 31 Pengetahuan adalah perjuangan Bagi pemuda yang bercita-cita tinggi Seumpamanya banjir itu adalah perjuangan Bagi sesuatu tempat tinggi…..….53 ‫ ﻓﻼ ﻳﻨﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺇﻻ ﺑﺎ ﻟﺘﻮﺍ ﺿﻊ ﻭﺇﻟﻘﺈﺍﻟﺴﻤﻊ‬.3 Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh Sebagaimana seorang murid dalam menuntut ilmu, janganlah sifat tamak dalam menginginkan sesuatu yang belum semestinya, sebab hanya akan menghasilkan dirinya hina. Dan menjaga sesuatu yang mengakibatkan ilmu beserta ahlinya menjadi hina, akan tetapi hendaklah tawaduk rendah hati, karena dengan tawaduk ilmu itu akan melekat dalam hati sehingga manusia yang beradab/bermoral. ‫ ﻭ ﺑﻪ ﺍﻟﺘﻘﻲ ﺍﱃ ﺍﳌﻌﺎﱃ ﻳﺮﺗﻘﻰ‬ ‫ﺍﻥ ﺍﻟﺘﻮﺍ ﺿﻊ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﻝ ﺍﳌﺘﻘﻰ‬ Sesungguhnya sikap tawaduk rendah hati adalah sebagian dari sifat-sifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan tawaduk akan semakin baik derajatnya menuju Selain tawaduk, hendaklah murid mendengarkan keterangan guru dengan penuh perhatian, supaya dapat menyerap seluruh yang disampaikan guru. Tiada yang menolong kepada pemahaman selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati-hati dan sepenuh jiwa. Meskipun keterangan itu sudah pernah didengar seribu kali, hendaknya keterangan tersebut didengarkan seperti ia mendengarkan pertama kali. 53 Loc,Cit Loc-Cit 55 Syaik Az-Zarnuji, Penj Noor Anfa Shiddiq,Terjemah Ta’limMuta’lim, Surabaya AlHidayah, hlm. 14 54 32 Dalam hal ini al-Ghazali mengibaratkan seorang murid bagaikan tanah kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah keseluruhan bahagiannya dan meratalah keseluruhannya air hujan 57 ‫ ﻭﻣﻬﻤﺎ ﺃﺷﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﰲ ﺍﻟﺘﻌﻠﻢ ﻓﻠﻴﻘﻠﺪﻩ ﻭﻟﻴﺪﻉ ﺭﺃﻳﻪ‬.4 “Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri.” Seorang pelajar hendaklah mentaati apa yang menjadi keputusan gurunya dalam mene‫ى‬tukan kurikulum, jangan mengikuti pendapat dan kehendaknya sendiri, karena guru lebih tahu tingkatan-tingkatan pengetahuan yang harus diberikan kepadamu. Dari uraian di atas menimbulkan beberapa adab yang sejalan dengan uraian tersebut yang telah disebutkan dalam karangan beliau dalam kitab Bidayatul Bidayah yaitu Jangan bertanya jika belum minta izin lebih 59 43 ‫ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﻨﺤﻞ‬ ‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ ﱢﺬ ﹾﻛ ِﺮ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ‬ ‫ﺍ ﹶﺃ‬‫ﺴﹶﺌﹸﻠﻮ‬ ‫ﻓ‬ Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu. An-Nahl ayat 43 Izin seorang pelajar terhadap gurunya dalam bertanya sesuatu sangat penting karena di mana seorang guru jelas lebih tahu letak penyampaian ilmu yang harus diselesaikan lebih jelasnya menjaga kesopanan. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatanmu memahaminya, adalah dicela, karena itulah, maka khaidir melarang Musa bertanya. 56 Al-Ghazali, Loc-Cit. Loc-Cit. 58 Al-Ghazali, Syaih Muhammad Nawawi, Syarah Bidayah Al-Hidayah, Semarang AlAlawiyah, hlm. 88 59 Soenarjo, Op-Cit., 57 33 Seabagaimana ungkapan al-Ghazali sebagai berikut Tinggalkan bertanya sebelum waktunya ! guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam tingkatan mana pun juga, maka belumlah datang waktunya untuk Hal di atas jelaslah bahwa seorang pelajar harus sopan dan tidak boleh melontarkan pertanyaanatau perkataan yang belum minta izin terhadap gurunya atau tiba-tiba berbicara dan bertanya. Dari itu tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya, guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktunya untuk bertanya. Hal ini sebagaimana diungkapkan nahi mungkar kepada Nabi Musa As dalam surat Al-Kahf;ayat 70 61 70 ‫ﺍ ﺍﻟﻜﻬﻒ‬‫ ِﺫ ﹾﻛﺮ‬‫ﻨﻪ‬‫ﻚ ِﻣ‬  ‫ﺙ ﹶﻟ‬ ‫ﺣ ِﺪ ﹶ‬ ‫ىﺎﹸ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻴ ٍﺊ‬‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺴﹶﺌ ﹾﻠﻨِﻰ‬  ‫ﺗ‬َ ‫ﻼ‬ ‫ﺘﻨِﻰ ﹶﻓ َﹶ‬‫ﻌ‬ ‫ﺒ‬‫ﺗ‬‫ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍ‬ Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang ssesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kepadamu nanti. 70 ‫ ﻭﻳﻨﺒﻐﻰ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﺍ ﺿﻊ ﳌﻌﻠﻤﻪ ﻭﻳﻄﻠﺐ ﺍ ﻟﺜﻮﺍﺏ ﻭ ﺍ ﻟﺸﺮﺍﻑ‬.5 Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhitmat Seorang pelajar hendaknya mendengarkan keterangan gurunya, mengharapkan pahala dari guru yakni mengharapkan keridha’an guru dengan tidak banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang 60 Ihya Ulumuddin, Op-Cit, Hlm. 51 Sonarjo, Op-Cit., hlm. 454 62 Loc-Cit. 63 Bidayah,op-cit, Hlm. 89 61 34 Karena kondisi guru kurang enak lebih mempengaruhi cara bicara dan penyampaian seorang guru sehingga percakapan antara keduanya harus melihat kondisi keduanya tersebut seperti ungkapan Hasyim. ‫ﻩ ﺫﻟﻚ‬‫ﺍﻥ ﻳﺘﺼﱪ ﻋﻠﻲ ﺟﻔﻮﺓ ﺗﺼﺪﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻭ ﺳﺆ ﺧﻠﻘﻪ ﻻ ﻳﺼﺪ‬ Seorang pelajar supaya sabar atas keras hati kemarahan yang keluar dari guru/jelek budi pekertinya dan jangan mencengah keluar kemarahan tersebut. Sebagaimana perkataan Ali “Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau banyak bertanya! jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas.”64 Kemarahan seorang atau rasa kurang enak kondisi guru tersebut kelihatan dari cara bicara dan paras wajahnya, maka kondisi seperti itu seorang pelajar harus dapat memahami diri dari bertanya, memberikan solusi apabila lagi mencengah dan melarang guru untuk tidak marah. Seorang guru dimanapun tetap akan ingat tugas guru diatas mempunyai tujuan untuk menghargai dan menghormati dengan dihadapan mendapat ilmu pengetahuan yang bermanfaat, karena seorang guru mepunyai tugas menyampaikan ilmu 6. Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam terlebih Menghormati guru merupakan salah satu sifat terpuji bahwa kewajiban seorang pelajar terhadap guru untuk mencari kerelaan gurunya dalam memberi ilmunya, seperti dalam kitab adabul’alimi wal muta’alim. ‫ﺍﻥ ﳚﻠﺲ ﺍﻡ ﻣﺎ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺑﺎﻷﺩﺏ ﻛﺄﻥ ﳛﺜﻮ ﻋﻠﻰ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ ﺍﻭ ﳚﻠﺲ ﻛﺎﻟﺘﺸﻬﺪ‬ 66 64 65 Ihya Ulumuddin, Loc-Cit. Bidayah, op-cit., hlm. 88 35 Pelajar hendaknya duduk didepan guru dengan sopan adab seperti pelajar memenuhi meliputi dan merapatkan pada kedua lututnya atau pelajar duduk seperti duduk takhiyat. 7. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh Hubungan antara murid dengan guru dalam proses pendidikan yang berlangsung ini memang harus terjalin dengan baik, tetapi ada batasbatasannya untuk menjaga kesopanan murid terhadap ilmu,dan gurunya. ‫ﻭﺍﺫ ﺫﺍﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﻼ ﻳﻘﻮﻝ ﻫﻜﺬﺍ ﺍﻭﺧﻄﺮﱃ ﺍ ﻭﻛﺬﺍ ﻗﻠﺖ ﺍﻭ ﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﻓﻼ ﻥ‬ 68 dan ketika guru berfikir sesuatu maka pelajar tidak boleh bicara, yaitu seperti aku berbicara atau seperti ini berpikir bagiku atau seperti fulan berkata. Berbicara ditengah-tengah waktu guru berbicara atau berpikir sesuatu itu merupakan tindakan yang kurang tepat, karena akan menghilangkan konsentrasi berpikir guru. 8. Jangan sekali-kali su’udhan terhadap guru mengenai tindakan yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam Dalam belajar murid tidak boleh su’dhan guru mengenai tindakan yang kelihatan munkar, su’udhan ini akan mengkibatkan ilmu yang akan diterima tidak sampai, sebab su’udhan merupakan penyakit hati, maka dari itu murid tidak boleh su’udhan terhadap gurunya, karena tidak tahu rahasia dibalik itu, seperti yang terjadi dengan Nabi Musa terhadap Nabi Khidir, yang telah 66 Syeih Hasyim As’ary, Adabul alimi Wal Muta’alim, Jombang Malitabah Turots alislam, 1415, Bidayah,Op-Cit, 67 Bidayah, loc-cit. 68 Op-Cit, hlm. 37 69 Bidayah, loc-cit 36 membunuh anak kecil. Oleh karena itu salah satu seoran sufi melukiskan kewajiban murid terhadap gurunya dalam sajak sebagai berikut Engkau laksana mayat terlentang Didepan gurumu terletak membentang Dicuci dibalik laksana batang Janganlah engkau berani menentang Perintahnya jangan engkau elakkan Meskipun haram seakan-akan Tunduk dan taat diperntahkan Engkau pasti ia cintakan Biar semua perbuatannya Meskipunbrlaianan dengan syara’nya Kebenaran nanti akan nyatanya Bagimu akan jelas putus asa Pada akhirnya ia terasa Pada akhirnya jelaslah sudah Tampak padanya secara mudah Kekuasaan Allah tidak tertadah Ilmunya luas tidak 9. Seorang pelajar hendahnya bersabar dalam menghadapi pelajaran dan konsekuen pada guru. Sabar merupakan kunci dari keberhasilan mencapai cita-cita, maka murid hendak bersabar menghadapi pelajaran yang dihadapinya, janganlah kamu sibuk dengan ilmu yang lain sebelum kamu dapat menguasai dengan baik ilmu yang pertama tadi. 71 Hal ini tercermin pada firman Allah dalam 70 Bakar Ajheh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo Ramadhani, 1984, 71 Ahmad Sjalaby, Op-Cit, hlm. 313 hlm. 309 37 surat kahfi ayat 67-68, yang mengisahkan Nabi Musa yang tidak bersabar menghadapi Nabi Khaidir. ‫ﺍ‬‫ﺒﺮ‬‫ﺧ‬ ‫ﻂ ﺑِﻪ‬ ‫ﺤ ﹾ‬ ِ ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﻣ‬ ‫ﺼِﺒﺮ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻒ‬  ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹶﻛ‬ . ‫ﺍ‬‫ﺒﺮ‬‫ﺻ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻣ ِﻌ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻴ‬‫ﺘ ِﻄ‬‫ﺴ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻚ ﹶﻟ‬  ‫ﻧ‬‫ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺍ‬ 72 68 -67 ‫ ﺍﻟﻜﻬﻒ‬ Dia menjawab “Sesungguhnya kamu musa sekali-kali tidak akan sanggup bersamarku. Dan bagaimana kamu sabar atas sesuatu, yang belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu. QS. Alkahfi 67-68 Tetapi Nabi Musa tidak sabar untuk menunggu atau menghadapi pngalamannya bersama Nabi Khaidir, selalu ia bertanya sampai Nabi Khaidir berkata 73 70 ‫ﺍ ﺍﻟﻜﻬﻒ‬‫ ِﺫ ﹾﻛﺮ‬‫ﻨﻪ‬‫ﻚ ِﻣ‬  ‫ﺙ ﹶﻟ‬ ‫ﺣ ِﺪ ﹶ‬ ‫ىﺎﹸ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻴ ٍﺊ‬‫ﺷ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺴﹶﺌ ﹾﻠﻨِﻰ‬  ‫ﺗ‬َ ‫ﻼ‬ ‫ﺘﻨِﻰ ﹶﻓ َﹶ‬‫ﻌ‬ ‫ﺒ‬‫ﺗ‬‫ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍ‬ Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kamu nanti. Al-Kahfi 70 Sikap Nabi Musa syaiknya gurunya, selalu bertanya apa yang diperbuat oleh Nabi Khaidir. Salah satu prinsip dasar dalam hubungan ini adalah rasa hormat seorang murid kepada gurunya, dan rasa seorang guru terhadap muridnya prinsip ini sama pentingnya dalam sistem pendidikan sufi maupun non sufi . 74 Bagi al-Ghazali, ibadah merupakan ibadah internal, bila ingin menanyakan sesuatu, murid harus terlebih dahulu meminta izin dari gurunya, karena hal ini adalah bagian dari manifestasi signifikansi yang lebih tinggi 72 Soenarjo, Op-Cit. Op-Cit 74 Hasan Asri, Op-Cit, Hlm 116 73 38 dikalangan sufi, karena seorang murid sangat tergantung pada guru untuk kemajuannya. Pola hubungan guru murid guru diatas masih cukup relevan untuk diaplikasukn dalam kegiatan belajar-mengajar dimasa sekarang, karena hubungan tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas guru dan murid, juga dapat mendorong terciptanya akhlak yang mulia dikalangan pelajar khususnya, dan pendidikan lain pada umumnya. Para ahli pendidikan Islam masa kini juga telah sepakat bahwa maksud dari pengajaran dan pendidikan bukanlah belum mengetahui tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhillah keutamaan, mempersiapkan mereka untuk sesuatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. 75 Jika hubungan antara anak dan orang tua, murid dan gurunya, tidak terjadi atau jarang, maka kemungkinan besar pengajaran dan tujuan pendidikan tidak akan berhasil. Dengan inilah para orang tua dan pendidikan harus memperhatikan dengan seksama sarana-sarana dan cara yang positif agar ia mencintai anak-anak dan anak-anak mencintai mereka, saling membantu dan berkasih sanyang sesamanya. Dan apabila adab murid tersebut ada diri murid maka dia akan mencapai apa yang dicita-citakan, tetapi apabila dalam hatinya tidak ada, maka ia tidak akan berhasil meskipun kelihatannya berhasil, hal ini dapat dilihat pada tingkah lakunya sehari-hari. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adab murid terhadap guru itu masih kondisional dengan proses belajar mengajar dimasa sekarang meskipun ada juga yang tidak kondisional apabila diterapkan di dalam proses belajar mengajar 75 al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam, Alih Bahasa Bustami dan Djohar Bahri Jakrta Bulan Bintang , 1993, Cet I, Hlm. 1 39 pada saat sekarang. Adapun yang masih kondisional dalam proses belajar mengajar di masa sekarang adalah a. Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang Tidaklah layak seorang pelajar menyombongkan terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali yang terkenal benar keahliannya. c. Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri. e. Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhitmat kepadanya. f. Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam terlebih dahulu. g. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru, h. Seorang pelajar hendahnya bersabar dalam menghadapi pelajaran dan konsekuen pada guru. i. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru. j. Jangan sekali-kali su’udhan terhadap guru mengenai tindakan yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakannya. Adab-adab tersebut, masih kondisional dalam proses belajar mengajar di masa sekarang, karena akan membantu dalam keberahasilan belajar murid untuk mencapai citacitanya. Adapun adab murid terhadap guru yang tidak sesuai / tidak kondisional dimasa sekarang adalah a. Seorang pelajar tidak boleh banyak bertanya kepada gurunya sebelum waktunya. Adab ini sudah tidak kondisional lagi digunakan dalam proses belajar mengajar, sebab dimasa sekarang informasi tidak hanya diperoleh dari guru saja tapi bisa juga dari alat elektronika seperti radio, teletisi atau yang lain. - Terbit 25 October 2021 Oleh Kategori Ihya 'Ulumuddin Tata krama atau adab yang semestinya dijalankan oleh para guru dan murid adalah sebagai berikut KEWAJIBAN SEORANG MURID Pertama Menjaga diri dari kebiasaan rendah diri dan perilaku tercela. Rasulullah SAW bersabda, “Agama ditegakkan atas kebersihan. Maka kebersihan lahir dan kesucia batin dibutuhkan”. Usaha murid untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan adalah amalan hati. Sholat dan ibadah fardhu ain lainnya dikerjakan oleh tubuh, sedangkan untuk memperoleh ilmu dari seorang guru tidak dapat dicapai tanpa menyingkirkan kebiasaan buruk dan sifat-sifat jahat. Ibnu Mas’ud RA pernah berkata, “Ilmu tidak diraih dengan banyak belajar. Ia adalah Cahaya nur yang dipancarkan ke dalam dada”. Kedua Mengurangi keterpautannya pada urusan duniawi semata dan berusaha mencari tempat belajar yang jauh dari kerabat dan kampung halaman karena ilmu tak mungkin diperoleh di lingkungan yang demikian. Ketiga Bersikap tawadhu’ atau tidak meninggikan diri dihadapan gurunya. Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Apa saja yang dianjurkan oleh guru, murid harus mengikutinya dan mengesampingkan pendapat pribadinya. Murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diijinkan oleh gurunya saja. Keempat Ia tidak terlalu memberikan perhatian kepada perbedaan antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi, karena itu bisa menggerus hatinya hingga kehilangan semangat untuk mempelajari ilmu. Ia pertama-tama harus mengindahkan ucapan gurunya dan tidak boleh mempermasalahkan berbagai mazhab. Kelima Tidak boleh meninggalkan satu cabang ilmupun. Ia harus bersemangat untuk mempelajari berbagai cabang ilmu karena setiap cabang ilmu sesungguhnya saling membantu dan berhubungan erat. Keenam Tidak boleh mempelajari atau mendalami beberapa atau semua cabang ilmu dalam satu waktu. Ia harus mempelajari dahulu ilmu yang terpenting bagi kehidupannya. Sedikit ilmu jika diperoleh dengan semangat dan gairah, Insya Allah akan menyempurnakan hati kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Ilmu yang tertinggi dan termulia adalah ilmu mengenal Allah ma’ rifatullah. Ketujuh Tidak boleh mendalami cabang ilmu baru hingga ia menguasai dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Satu cabang ilmu umumnya menjadi pengatur dan penuntun bagi cabang ilmu lainnya. Kedelapan Mengetahui sebab-sebab suatu ilmu mulia dikenal. Suatu ilmu yang mulia dapat dikenali dari dua hal yaitu kemuliaan hasilnya dan Kekuatan prinsip-prinsipnya. Sebagai contoh pada ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari agama adalah untuk mendapatkan kehidupan yang kekal dan hasil dari ilmu kedokteran adalah memperoleh kehidupan sementara di dunia. Dari sini tampak jelas bahwa ilmu dengan hasil mengenal Allah, Rasul-Nya, malaikat-Nya, kitab-Nya adalah ilmu yang paling mulia, demikian pula dengan cabang-cabang ilmu penunjangnya. Kesembilan Mempercantik hati dan tindakan dengan kebajikan, menggapai kedekatan dengan Allah SWT dan malaikat-Nya serta bersahabat dengan orang yang dekat dengan Allah SWT. Derajat tertinggi iman seseorang dimiliki oleh para Nabi, kemudian para Wali, lalu para Alim Ulama yang mendalam ilmunya, dan terakhir orang-orang saleh yang mengikutinya. Kesepuluh Memusatkan perhatian pada tujuan utama ilmu. Dunia dan seisinya beserta tubuh ini sudah selayaknya dijadikan kendaraan’ untuk menggapai tujuan utama ilmu yang kita pelajari kelak, yaitu Allah SWT dan tidak ada apapun selain Allah SWT. KEWAJIBAN SEORANG GURU Seseorang yang dikaruniai ilmu yang mendalam, dicerminkan dengan tindakan yang mulia dan mengajarkannya kepada orang lain dipandang lebih mulia daripada para malaikat langit dan bumi. Mereka ini diibaratkan seperti matahari yang menyinari diri sendiri dan memberikan sinarnya kepada alam semesta. Manusia seperti ini laksana kesturi, ia sendiri berbau harum namun juga menebarkan keharumannya kepada orang lain. Orang seperti inilah yang layak dijadikan Guru. Pertama Memperlihatkan kebaikan, simpati dan bahkan empati kepada para muridnya dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Seorang Guru adalah sebab dari kehidupan kekal kelak. Karena ajaran para Guru inilah murid akan mengetahui dan ingat akan kehidupan akhirat. Seorang Guru dinilai akan membinasakan diri dan juga muridnya apabila ia mengajar demi dunia ini. Guru yang berorientasi akhirat tidak akan punya rasa benci, iri dan dengki terhadap muridnya dan siapapun juga. Kedua Mengikuti teladan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ia tidak boleh mencari imbalan dan dan upah di dalam mengajar selain mendekatkan diri kepada Allah dan mentauladani apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Ketiga Tidak boleh menyembunyikan nasihat atau ajaran untuk diberikan kepada murid-muridnya. Setelah selesai menyampaikan ilmu-ilmu lahiriyah, seorang Guru haruslah menyampaikan ilmu-ilmu batiniah bahwa tujuan Pendidikan adalah mendekat kepada Allah SWT, bukan mengejar kekuasaan atau kekayaan. Keempat Mencegah murid-muridnya dari memiliki watak dan perilaku jahat dengan penuh kehati-hatian dan dengan cara sindiran, dengan cara simpati bukan keras dan kasar. Kelima Tidak boleh merendahkan ilmu lain dan Guru lain dihadapan para muridnya. Seharusnya Guru suatu ilmu tertentu menyiapkan murid-muridnya untuk belajar lanjutan ilmu-ilmu lainnya dan seterusnya, sehingga tidak punya waktu untuk menceritakan hal yang tercela terkait ilmu lain dan Guru lain. Keenam Mengajarkan murid-muridnya hingga batas kemampuan pemahaman mereka. Apa yang diketahui seorang Guru tidak mesti semuanya disampaikan kepada murid-muridnya sekaligus. Kebijaksanaan lebih bernilai daripada permata sekalipun. Ada peringatan bahwa lebih baik menjaga ilmu dari orang-orang yang bisa menjadi hancur karena memilikinya. Memberikan sesuatu kepada orang yang tidak berhak atas suatu ilmu sama atau tidak memberikannya kepada orang yang berhak adalah sama-sama zalim. Ketujuh Mengajarkan kepada para murid yang terbelakang hanya sesuatu yang jelas dan sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas tersebut. Orang acapkali mengira bahwa kebijaksanaan, ilmu dan tindakannya sempurna. Orang terbodoh adalah orang yang merasa puas dengan diri dan pengetahuannya serta menganggap bahwa akalnya sempurna. Kedelapan Guru haruslah mempraktekkan apa yang diajarkan dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya. Guru dapat diibaratkan seperti tongkat dan murid adalah bayangan dari tongkat tersebut. Bagaimana mungkin bayangan sebatang tongkat bisa lurus apabila tongkat itu sendiri bengkok? اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ Klik disini apabila ingin memiliki kitabnya A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam pandangan islam,orang yang paling bertanggung jawab dalam perkembangan anak adalah orang tua,anak adalah bagian aset orang tua yang terpenting yang harus dirawat dan dijaga islam juga memandang pendidikan memiliki pengaruh yang besar dalam mengembangkan dan mengubah diri itu, kewajiban terpenting bagi orang tua terhadap anaknya adalah pendidikan,hal ini melibatkan beragam usaha dalam pengertian bahwa seluruh sikap dan tingkah laku orang tua harus diarahkan untuk memberikan pendidikan kepada anak secara tepat dan anak adalah merupakan wujud dari sikap dan prilaku orang tua,namun bila orang tua tidak ada waktu dalam memberikan pendidikan kepada anaknya,maka wajiblah orang tua memasrahkan kapada orang lain untuk mendidik anaknya,dalam hal ini adalah guru. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan diantara pendidikan bagi anak,yaitu Murid, Guru, dan orang tua. Dikatakan bahwa guru adalah Abu al-ruh atau abu fi ad-din bagi murid. Sedangkan orang tua adalah Abu al jasad bagi murid itu sendiri. Artinya bila seorang murid hendak mendapatkan ilmu manfaat derajat kemuliaan diakhirat, maka hendaknya berbakti sepenuhnya kepada guru,dan bila hendak mendapatkan kelapangan rizki maka hendaknya berbaktilah sepenuhnya kepada orang tua.[1] Guru adalah wakil dari orang tua,yang telah memasrahkan kepadanya dan juga merupakan faktor terpenting atas berhasil dan tidaknya murid dalam menekuni pendidikannya,karenanya guru juga ikut bertanggung jawab dalam mengoptimalkan upaya perkembangan seluruh potensi murid,baik potensi kognitif,psikomotorik, maupun afektif. Sesuai dengan nilai-nilai islam. Sehingga selain sebagai pengajar, guru juga sebagai pendidik yang bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh potensi murid dapat teraktualisasikan secara baik dan dinamis.[2] Islam sangat menghormati dan menghargai orang-oramg yang mengemban amanat dalam nasyri ilmi,dalam hal ini adalah guru, karena guru harus mampu dan berusaha sekuat tenaga dalam mencapai keberhasilan anak didiknya yang beriman menurut ukuran-ukuran moral dan etis. Selain guru, murid juga merupakan faktor penting dalam dunia pendidikan, tanpa murid maka tidak akan terlaksana proses pendidikan. Banyak terjadi pada masa lalu,alur dari pengembaraan pencarian ilmu yang tidak dapat dirasakan apalagi diserap dan diamalkan, hanya karena tidak tahu jalan untuk mendapatkan ilmu tersebut dan salah satu jalan untuk mendapatkan sebuah ilmu adalah membina hubungan, terlebih dalam adap dan tata krama antara murid dan guru. Etika atau adap maupun tata krama adalah istilah yang sama, untuk dipahami dan diresapi juga diamalkan oleh murid terhadap gurunya dan guru terhadap muridnya, apalagi di era globalisasi ilmu pengetahuan dan tehnologi berkembang sangat cepat dan hal ini juga menimbulkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula, dimana banyak dampak negatif terhadap murid, yang dalam hal ini murid sudah berani meninggalkan etika terhadap gurunya. Satu contoh murid sudah berani menyamakan guru pada posisi temannya dan banyak murid yang meremehkan gurunya. Sebaliknya pada masa sekarang tidak sedikit guru yang memberika hukuman terhadap muridnya, berbuat tidak senonoh dan sebagainya, padahal bila guru kencing sambil berdiri, maka murid akan kencing sambil berlari dan yang perlu kita ingat bahwa guru harus dapat digugu dan ditiru.[3] Untuk itu seorang guru harus dapat melaksanakan wadzifahnya dengan baik, selain penguasaan bahan dan materi seorang guru harus dapat dibuat contoh dan suri tauladan anak didiknya. Atas dasar tersebut banyak ahli pikir salaf membahas tentang etika murid dan guru dalam mencapai kesuksesan pembelajaran. Salah satunya Hujjah Al-Islam Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Dalam konteks ini, maka mencernati, memahami, dan mengevaluasi pemikiran al-Ghozali tentang adap murid dan guru adalah menarik untuk dibahas. B. PENEGASAN ISTILAH Agar dapat dipahami dengan baik dan tidak mengaburkan pembahasan, maka kiranya penulis berikan batasan dan penegasan istilah yang akan dipakai dalam skripsi tentang pemikiran Al-Ghozali tentang Adap Murid dan Guru Dalam Kitab Ihya’ Al-Ulumuddin juz I. 1. Al-Ghozali Al-Ghozali adalah salah satu ulama’ klasik yang hidup antara tahun 450-505 / 1058 – 1111 M. Beliau mempunyai nama lengkap Al-Imam Zainuddin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali Ath-Thusi An-Naisaburi Al Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’ Al-Asy’ari.[4] 2. Adap Murid Dalam kamus bahasa Indonesia terbaru, Adab adalah kesopanan.[5] Sedangkan yang dimaksud adap murid disini adalah etika atau yang harus dimiliki oleh seorang murid atau siswa peserta didik yang menimba ilmu-ilmu agama atau yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan islam. 3. Guru Dalam bahasa indonesia terbaru, guru adalah orang yang kerjanya mengajar.[6] Sdangkan yang dimaksud guru disini adalah orang yang mengajar ilmu-ilmu agama islam di lembaga-lembaga pendidikan islam. 4. Kitab Ihya’ Al-Ulumuddin Adalah salah satu kitab karya imam Al-Ghozali, yang menjelaskan beberapa hal , antara lain hal ibadah, adab mu’amalat, ilmu, munjiyat, hikmah, pendidiksn dan yang lainya secara lengkap.[7] Jadi yang penulis maksud dengan judul “konsepsi Al-Ghozali Tentang Adap Murid dan guru dalam kitab ihya’ ulumuddin juz I” adalah etika seorang guru dan murid dalam proses belajar keberhasilan suatu pembelajaran itu tergantung bagaimana membina hubungan antara guru dan murid, terlebih terhadap adap dan tata krama diantara keduanya, maka hal ini akan ditemukan gambaran secara utuh dan komprehensif tentang konsep dan pemikiran Al-Ghozali berkaitan dengan adap murid dan guru dalam proses belajar mengajar tersebut dalam kitab karangannya yaitu kitab ihya’ ulumuddin. C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas, maka pokok masalah yang mucul adalah sejauh mana hubungan murid dan guru hingga dapat menghasilkan ilmu yang dapat dirasakan dan dinikmati baik di dunia maupun di akhirat, juga oleh guru dalam mentransfer ilmu dapat diterima murid dengan baik ,hingga dapat mengamalkannya. Menurut Imam Ghozali, untuk mencapai jawaban atas pokok masalah tersebut, maka pertanyaan dibawah ini perlu diangkat sebagai sarana untuk menjawab pokok masalah tersebut, yaitu sebagai berikut 1. Bagaimana konsep adap murid menurutimam Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1? 2. Bagaimana konsep adab guru menurut imam Al-Ghozali Ihya’ Ulumuddin Juz 1? 3. Apa relevansi konsep adap murid dan guru dalam pencapaian belajar mengajar dewasa ini di indonesia, terutama dalam nilai-nilai adab ? D. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan penelitan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut 1. Untuk memahami konsep adap murid menrut Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1. 2. Untuk memahami konsep adap guru menurut Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1. 3. Untuk menemukan relevansi konsep adap murid dan guru menurut al-Ghozali dengan pendiikan adap di indonesia saat ini. E. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat atau kegunaannya,anatara lain 1. Secara teoritik, dapat menyumbangkan khazanah intelektual islam khususnya dalam pendidikan islam 2. Secara praktis, dapat memberi wawasan dan pedoman bagi para peserta didik, baik murid maupun guru dalam rangka mencari pola hubungan yang ideal berbasis adab islami. F. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian adalah 1. Jenis dan pendekatan penelitian Jenis penelitian ini merupakan library research penelitian pustaka, yaitu suatu uasaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan, penulis menggunakan study kepustakaan atau library research ini dimaksudkan untuk memperoleh dan menela’ah teori-teori yang berhubungan dengan topik dan sekaligus dijadikan sebagai landasan teori.[8] Sebagai penelitian yang bercorak analisis kritis terhadap pemikiran seorang tokoh, maka penelitian ini menggunakan pendekatan historis atau pendekatan sejarah, yaitu penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan-perkembagan, serta pengalaman dimasa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut,[9] sehingga setting sosial intelektual dimana ia hidup dalam hal ini pemikiran Al-Ghozali tentang adap murid dan guru menjadi faktor penting dalam penelitian ini. 2. Sumber data Jenis penelitian ini adalah library research penelitian pustaka, maka data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka adalah berupa sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut a. Sumber data primer data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subjek informasi yang di cari.[10] sumber data primer dalam penelitian ini meliputi satu kitab yakni kitab ihya’ ulumuddin, juz awal, rubu’ pertama, bafian al-ilm,bab khomis, tentang adap murid dan guru, hal 43-52, karya Hujjah AL –islam Abu Hamid Al-Ghozali. b. Sumber data skunder data skunder adalah data yang di peroleh dari pihak lain, tidak langsung dari subjek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau berkaitan dengan tema yang diangkat.[11] Dalam penelitian ini data skundernya adalah antara lain Ta’limul mutallim karya Syeh Az-Zarnuji,Syarah Ta’limul Muta’alim karya Syeh Ibrahim Bin Ismail,Adabul Adim Wal Muta’allim karya Syeh Hasyim Asy’ari,Ad-Durroh Al-Mafakhiroh,Ithaf as-Sadah al –Muttaqin,Ayyuhal Walad al-Mhib karya Al-Ghozali,Tokoh-tokoh pendidikan islam di zaman jaya karya H. Nasruddin Thoha dan yang lainnya. 3. Tehnik pengumpulan data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada hubungan antara tehnik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin di data tak lain adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik dokumenter,tehnik dokumenter merupakan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,seperti arsip-arsip,dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian,[12] yakni penulis mengumpulkan buku-buku yang yang ada hubungannya dengan pembahasan penulisan skripsi, dalam hal ini adalah kitab ihya’ ulumuddin juz I sebagai sumber utama,penelitian kepustakaan dengan menganalisa terhadapnya dan sumber lain yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pembahasan, yaitu adab murid dan guru menurut pandangan Al-Ghozali dalam kitab ihya’ uluddin juz I. 4. Tekhnik Analisis Data Dalam analisis data, penulis menggunakan metode diskriptif analisis yaitu, suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data kemudian diusahakan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut.[13] Dalam hal ini dimaksudkan untuk membuka pesan yang terkandung dalam bahasa teks, terutama kitab ihya’ ulumuddin bagian bab adab al-alim wal mutaaliim. Selanjutnya untuk mengkaji relevansi konsep adap hubungan murid dan guru menurut Al-Ghozali dengan pendidikan moral dan etika di indonesia saat ini, dilakukan analisis komparasi atau perbandingan yaitu, membandingkan terhadap beberapa segi data lain, situasi lain, dan konsepsi filosofi lain.[14] Untuk membandingkan antara konsep etika tersebut dengan kondisi pendidikan di indonesia saat ini. Jepara,07 November 2011 peneliti [1] AL-Zarmuji,Ta’limul muta’allim Semarang, Usaha Keluarga [2] Piet A Sehertian,Ida A Sehertian,Supervisi pendidikan, Jakarta Rienika Cipta, 1992, hlm 39 [3] Abi Hamid al –Ghozali 2 , Ihya’ Ulumuddin, Mesir Maktabah Isa al-Baby, [4] Al-Ghozali 3, Al-durroh Al-Fakhiroh, Bairut Mu’asasah Al-kutub Al-Tsiqofiyah,1992, hlm 6 [5] Suharto,Drs, Tata Irianto, Kamus Besar Bahasa Ndonesia Terbaru ,Surabaya Indah, 1989, [7] Sayyid Muhammad bin Muhammad, Ithaf as-Sadah AL-muttaqin Bairut Dar L fikr , [8] Hadi,MA, Metodologi research I,Yogyakarta Andi Ofset,1997, cet 25, [9] A. Nevins,Master’s Essay in History, Colombia Unis. Press, New York,1993 [10] Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian Yogyakarta Pustaka Pelajar Ofifset, 2004, hlm. 91 [12] Drs. Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta 2004 [13] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik Bandung Transito, 1998, hlm. 139 [14] Anton Bekker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990. Hlm. 111 Abstrak Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka library research, penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan tentang kitab Ayyuhal Walad, karya Imam al Ghazali. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Hasil penelitian, pertama, konsep pendidikan karakter merupakan gambaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaa pendidikan karakter, baik terkait dengan definisi pendidikan karakter, tujuan pendidikan karakter dan nilai-nilai pendidikan karakter. Kedua,karakter atau akhlak menurut al-Ghazali adalah suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan dan pengalaman dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan redaksi lain, al-Ghazali juga berpendapat Pendidikan karakter adalah sebuah proses pembersihan jiwa. Dari jiwa yang bersih lahir perilaku yang baik, seperti jujur, dermawan, dan sabar. Ketiga, pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad berisi nasihat al-Ghazali kepada muridnya yang meminta nasihat khusus, secara garis besar membehas tentang masalah akhlak kepada Allah, akhlak seorang pendidik, akhlak seorang pelajar, dan akhlak dalam pergaulan. Tujuan dari pembahasan pendidikan akhlak dalam kitab ini untuk mencetak pribadi yang baik, bermoral dan lebih mengutamakan kepentingan Allah Syari’at daripada yang lainnya. Dan juga untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. di dunia maupun di akhirat.

adab murid terhadap guru dalam kitab ihya ulumuddin